REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dialog lintas iman yang digagas oleh Kementerian Agama (Kemenag) menghasilkan lima rumusan yang disebut dengan Risalah Jakarta. Rumusan ini dibacakan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (29/12).
Setidaknya ada tiga sub tema pokok yang dibahas dalam dialog lintas iman itu, yaitu: Konservatisme, Relasi Agama dan Negara, serta Beragama di Era Disrupsi. Hasil pembahasan atas sub tema itu kemudian menghasilkan Risalah Jakarta.
Poin pertama, yaitu konservatisme sebagai karakter dasar agama tidak bermasalah sejauh dipahami sebagai usaha merawat ajaran dan tradisi keagamaan. "Tetapi, konservatisme dapat menjadi ancaman serius ketika berubah menjadi eksklusivisme dan ekstremisme agama, dan menjadi alat bagi kepentingan politik," ujar Mahfud MD dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (29/12).
Menurut Mahfud, eksklusivisme dan ekstremisme agama justru menjauhkan peran utama agama yang bukan hanya menjadi panduan moral spiritual, tapi juga menjadi sumber kreasi dan inspirasi kebudayaan. Poin kedua Risalah Jakarta, yaitu konservatisme yang mengarah pada eksklusifisme dan ekstremisme beragama seringkali dipicu faktor-faktor yang tidak selalu bersifat keagamaan melainkan rasa tidak aman akibat ketidakadilan, formalisme hukum, politisasi agama, dan cara berkebudayaan. Pertarungan pada ranah kebudayaan menjadi pertarungan strategis.
"Karena itu, agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan," ucap Mahfud.
Poin ketiga, yaitu era disrupsi yang membawa perubahan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Menurut Mahfud, ekses era disrupsi telah menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusi dan penguatan identitas kelompok.
"Teknologi informasi dan komunikasi sebagai media disruptif menjadi pengubah permainan karena membawa budaya baru yang serba instan," katanya.
Risalah keempat, yaitu eksklusivime dan ekstremisme beragama menjadi alasan beberapa kelompok untuk memperjuangkan ideologi agama sebagai ideologi negara. Menurut Mahfud, formalisasi agama dalam kebijakan negara juga menguat di berbagai daerah atau dalam kebijakan yang mengatur pelayanan publik dan kewargaan, bahkan menciptakan kegamangan atas hukum positif yang berlaku semisal dalam isu-isu terkait keluarga dan perempuan.
"Relasi kuasa politis yang di Indonesia muncul dalam paradigma mayoritas minoritas menjadi alasan untuk mempengaruhi kebijakan negara," jelasnya.
Poin terakhir atau kelima, yaitu berisi beberapa strategi untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Setidaknya ada lima strategi yang dirumuskan oleh peserta dialog lintas iman itu.
Untuk diketahui, dialog yang mengangkat tema "Kehidupan Beragama di Indonesia: Refleksi dan Proyeksi" ini dibuka oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Hotel Discovery Ancol, Jakarta, Jumat (28/12) kemarin. Acara yang digelar dua haru ini diikuti sejumlah agamawan dan budayawan.
Di antaranya, Mahfud MD, Asep Zamzam Noor, Fatin Hamama, Garin Nugroho, Haidar Baqir, Hartati Murdaya, Henriette G Lebang, Jadul Maula, Komaruddin Hidayat, Suhadi Sanjaya, Sujiwo Tedjo, Ulil Abshar Abdalla, Usman Hamid, Uung Sendana, Wahyu Muryadi, Yudi Latif, Bhikku Jayamedo, Alisa Wahid, Coki Pardede, Zaztrow, dan D Zawawi Imron.
http://bit.ly/2GJODLl
December 29, 2018 at 10:40PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2GJODLl
via IFTTT
No comments:
Post a Comment