REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah mencatat luka yang tertoreh akibat ketamakan kuasa di Cad. Perang demi perang menyenarai panjang dalam catatan tadi, baik antarsesama mereka maupun ketika melawan kaum kolonial. Prancis aktif mencaplok kawasan demi kawasan di Cad untuk membentuk teritori militer di negara itu.
Setelah semua wilayah terkuasai, Cad resmi menjadi bagian protektorat Afrika Ekuatorial Prancis pada 1920. Upaya kolonisasi Prancis ini mendapat perlawanan dari kelompok masyarakat yang digerakkan tarikat-tarikat sufi yang berkembang seperti Tijaniyah dan Sanusiyah.
John Esposito dalam Ensiklopedi Dunia Islam Modern menulis bahwa kedua tarikat ini memiliki kesamaan dalam sikap oposisi yang tegas terhadap penjajah. Perlawanan terus- menerus terhadap penetrasi Prancis ini berbuah pralaya di Bir Alali pada 1901 dan Ain Galaka pada 1913.
Bagi Prancis, keduanya merupakan ancaman terhadap proses pembentukan peradaban mereka di kawasan lintasan khatulistiwa di Afrika. Karena itu, Prancis berupaya keras mengadu domba kelompok dari kedua tarikat itu, juga mengerdilkan mereka di bawah kekuasaan sultan-sultan tradisional.
Namun, akhirnya Prancis tak kuasa meredam desakan merdeka dari rakyat Cad, terutama setelah Perang Dunia II berakhir. Cad mendapatkan kemerdekaan pada 11 Agustus 1960.
Ternyata, kemerdekaan tak cukup sebagai syarat mengundang damai ke tanah Cad. Francois Tombalbaye yang didapuk parlemen sebagai presiden pertama bertindak arogan. Dia memberangus partai oposisi sekaligus menjadikan partainya sebagai kekuatan politik tunggal di Cad.
Kepemimpinan yang semena-mena dan arogan itu menyulut perang saudara pada 1965. Tombalbaye terpaksa lengser 10 tahun kemudian namun keadaan masih bergejolak. Giliran gerombolan pemberontak dari kawasan utara Cad yang berhasil merebut tampuk kepemimpinan pada 1979.
Ibu kota Cad, Ndjamena, lepas dari tangan pemerintah yang legal. Keadaan yang serba tidak pasti mendesak Prancis untuk melepaskan perannya dalam menjalankan pemerintahan boneka di Cad. Sepeninggal Prancis, Libya masuk mengisi kekosongan dan tentaranya ikut mendalangi sejumlah perang saudara sampai 1987. Konflik di Cad tambah meradang.
Ikut campurnya Libya dalam urusan rumah tangga Cad membuat rakyat di bawah pimpinan Presiden Hissene Habre menyadari adanya musuh bersama. Mereka bersatu untuk mengusir tetangga tak tahu diri dari tanah Cad.
Sayangnya, Habre justru menyalahgunakan kepercayaan dengan membentuk sistem pemerintahan diktatorian yang korup. Tangan besinya disebut membantai 40 ribu nyawa tanpa pengadilan. Belum lagi, dia mendiskriminasi golongan lain selain etnisnya, Daza.
Jenderal Idriss Deby menggulingkan Habre lewat kudeta militer pada 1990. Dia mendamaikan gejolak di daerah konflik dan memperkenalkan kembali sistem multipartai. Sejenak, rakyat Cad jatuh hati kepadanya dan memilihnya menjadi presiden untuk dua periode. Namun, sekali lagi ketamakan berbicara. Deby menghapus aturan maksimum dua periode masa jabatan presiden. Pada 2006, dia memperoleh mandat untuk ketiga kalinya dalam pemilu yang tidak diikuti pihak oposan.
Kebangkitan Islam di kota-kota besar tampil sebagai sumber solidaritas di kalangan muslim kelas menengah dan bawah di Ndjamena. Mulai dari gerakan yang moderat seperti yang digagas imam Masjid Agung sampai faksi fundamentalis di bawah pimpinan Hasan Alturabi yang bermarkas di Sudan barat, berbatasan dengan daerah timur Cad. Sempat terjadi dua kali percobaan kudeta di Ndjamena terhadap Deby pada 2006 dan 2008 namun belum menuai hasil.
Di sisi lain, kekalutan tak berujung di Cad membuat badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani pengungsi, UNHCR, mengeluarkan lampu kuning. UNHCR mengingatkan, peningkatan aktivitas bentrokan antaretnis seperti di kawasan timur Cad bisa menyulut pembasmian etnis di sana, seperti yang terjadi di Darfur, tetangga mereka. Dengan sinyal buruk ini, sepertinya rakyat Cad masih harus menunggu sampai ‘Jantung Mati Afrika’ itu bisa berdenyut teratur
http://bit.ly/2DiSlYG
January 18, 2019 at 05:47PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2DiSlYG
via IFTTT
No comments:
Post a Comment