REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri) Bahtiar meminta bantuan pers dan semua lapisan masyarakat menangkal dan mengantisipasi politik uang. Potensi politik uang lebih besar dilakukan di lapangan pada proses pileg sesuai hasil penelitian Sindikasi Politik dan Demokrasi dan Indikator Indonesia.
“Kita semua harus memiliki sensitivitas untuk mengungkap cara-cara baru penerapan Politik uang. Kepekaan ini juga termasuk harus dimiliki Pemerintah, pemda, parpol, masyarakat, Penyelenggara Pemilu dan pers. Politik uang akan mungkin lebih terasa karena sistem proporsional terbuka memungkinkan adanya pertarungan antar caleg dalam satu partai dan dalam satu Dapil yang sama,” kata Bahtiar pada acara Kemendagri Media Forum di Press Room Kemendagri, Jakarta Pusat, Jumat (8/2).
Bahtiar menjelaskan, kemungkinan ada metode baru untuk menggaet pemilih dengan berbagai cara dan tidak selalu dengan uang tunai. Politik uang bisa saja dilakukan pendekatan dengan kelompok tertentu untuk menawarkan jasa/barang.
“Semakin rawan dan rumit karena money politic tak lagi berbentuk uang cash, tetapi bisa dalam bentuk barang atau jasa. Praktik di lapangan itu biasanya sudah jauh-jauh hari ada upaya menanam jasa pada pemilih di Dapil, yang biasanya sudah mengikat kelompok atau elit yang dianggap mampu menghasilkan jumlah massa, misalnya saja kelompok tani, kelompok nelayan dan lain-lain,” ujarnya.
Bahtiar menambahkan, praktik politik uang kemungkinan terjadi dengan motif baru yang lebih sulit dideteksi. Jika hal itu terjadi, akan berdampak pada rusaknya sistem politik demokrasi yang sehat, bermartabat dan akuntabel.
“Oleh karena itu Mendagri Tjahyo Kumolo menyebutkan politik uang adalah racun demokrasi yang mampu melumpuhkan peradaban demokrasi,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz yang menjadi narasumber dalam Kemendagri Media Forum memaparkan, potensi kerawanan politik uang akan kembali terjadi dan meningkat pada Pemilu 2019. Hal ini didasarkan pada jumlah daerah pemilihan (Dapil) di DPR yang semakin banyak, yaitu 80 dengan jumlah caleg yang juga bertambah.
Selain itu, menurut August, jika dilihat dari Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) 2014, masih didominasi oleh penerimaan dari Caleg. Hal ini juga dimungkinkan akan terjadi pada 2019 mengingat sistem yang digunakan masih proporsional terbuka.
“Dari total Rp 2,1 trilliun LPSDK terdapat 82,65 persen penerimaan dari caleg, perseorangan 8,34 persen, partai politik 7,60 persen. Badan usaha 1,15 persen dan Kelompok 0,26 persen . Artinya, sumbangan dana kampanye masih lebih besar dibandingkan partai politik. Sistem proporsonal terbuka inilah yang menyebabkan kampanye makin bersifat personal, bukan partai sehingga politik uangpun seolah tak dapat dihindari,” kata August.
Di sisi lain Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan minimnya pengawasan dan perubahan daerah pemilihan turut memengaruhi meningkatnya potensi politik uang. Burhanuddin menyebut, target politik uang ini belum tentu efektif karena adanya potensi miss targeting dan agency loss. Namun ia tetap meminta semua pihak mewaspadai politik uang karena masih ada kelompok yang cenderung terpengaruh politik uang, seperti kelompok yang memiliki kedekatan dengan partai politik, tokoh atau kelompok partisan.
“Sudah pasti ada ketidakefektifan dalam politik uang. Potensi terjadinya uang disunat koordinator itu besar terjadi. Itu agency loss. Ada juga miss targeting karena terlalu banyak di kalangan yang dapat uangpun mereka belum tentu mau ke TPS apalagi nyoblos,” jelas Burhanuddin.
http://bit.ly/2Dn61kc
February 09, 2019 at 04:54PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Dn61kc
via IFTTT
No comments:
Post a Comment