REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bermula pada rangkaian kuliah Muhammad Abduh yang diikuti Rasyid Ridha selama di Universitas al-Azhar (Mesir). Penggerak gagasan modernisme Islam itu berinisiatif menyusun secara berseri catatan-catatan kuliahnya.
Wabilkhusus mengenai kuliah tafsir Alquran yang dibawakan Abduh sejak 1899 hingga wafatnya pada 1905. Hasil catatan itu kemudian diterbitkan pada majalah Al-Manar. Tentunya, sebelum diterbitkan, catatan itu disertai umpan-balik dari Muhammad Abduh serta persetujuan darinya.
Ternyata, tidak cukup terbit berkala pada majalah. Inisiatif selanjutnya mengalihwahanakan artikel-artikel di majalah tadi menjadi sebuah kitab tafsir Alquran.
Maka, terbitlah kitab tafsir Alquran al-Hakim. Lantaran sebelumnya sempat terbit beberapa seri di Al-Manar, maka kitab itu disebut pula Kitab Tafsir Al-Manar.
Namun, isi buku itu lebih sebagai hasil kolaborasi antara Rasyid Ridha dengan gurunya, Muhammad Abduh. Dalam arti, beberapa perbedaan pandangan di antara keduanya tetap tampak di dalamnya.
Beda Abduh dan Rasyid Ridha
Seperti diulas dalam Ensiklopedi Islam, sang guru cenderung menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan metode al-Manhaj al-Adabi al-Ijtimai. Itu merupakan penafsiran yang lebih bercorak pada kesastraan, budaya, dan masyarakat.
Fokus metode ini adalah pada ketelitian redaksi ayat serta disusun dalam bahasa yang indah atau sastrawi. Kemudian, sang penafsir, dalam hal ini Muhammad Abduh, juga mengingatkan para pembaca akan tujuan utama turunnya Alquran. Misalnya, sebagai petunjuk bagi umat manusia dan mengungkapkan hukum alam yang berlaku di dunia.
Adapun Muhammad Abduh lebih komunikatif dalam narasinya. Caranya lebih sebagai mencari solusi bagi masalah-masalah yang sedang membelenggu umat. Dengan perkataan lain, dia mengajak pembacanya untuk hidup berdasarkan arahan Alquran.
Singkatnya, corak tafsir Muhammad Abduh cenderung mengedepankan akal rasional. Patokannya adalah ketetapan rasio (tahkim al-uqul) dan metode rasional (al-manhaj al-’aqli). Sang penafsir pada akhirnya melihat ayat-ayat Alquran sebagai harus diterima secara akal rasional.
Mengapa demikian? Sebab, Muhammad Abduh melihat Alquran sebagai suatu kesatuan yang mengandung ajaran-ajaran yang bersifat universal dan bebas dari konteks ruang-waktu. Selain itu, dia juga mengoperasikan cara ijtimai, yakni memandang ayat Alquran sebagai sumber akidah dan hukum.
Dalam batas tertentu, muridnya--Rasyid Ridha--mengikuti cara penafsiran Muhammad Abduh. Akan tetapi, Rasyid berbeda dalam hal kecenderungannya untuk memilih mazhab tertentu, yakni Hanbali.
Contohnya adalah penafsiran atas surat al-Baqarah ayat ke-25. Teks suci ini membahas apa-apa balasan Allah untuk orang yang beriman. Menurut Rasyid Ridha, balasan itu bercorak jasmaniah, bukan rohaniah sebagaimana pendapat Muhammad Abduh.
Arti ayat yang dimaksud dalam bahasa Indonesia: "Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: 'Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.' Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya."
https://ift.tt/2TcZ0MA
February 22, 2019 at 05:07PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2TcZ0MA
via IFTTT
No comments:
Post a Comment