REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia masih sangat lambat. Padahal Indonesia kaya akan potensi sumber daya EBT.
"Indonesia adalah 'hot spot' untuk energi terbarukan, kita sumber daya paling besar. Misal saja panas bumi sampai 28 giga watt, tetapi tahun lalu kenaikan di panas bumi tidak terlalu signifikan," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam diskusi mengenai EBT di Jakarta, Jumat (8/2).
Fabby menuturkan sepanjang 2015-2018, penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan hanya 882 mega watt (MW). Padahal, di era sebelumnya, yakni 2010-2014, kapasitas pembangkit EBT bisa mencapai 2.615,7 MW.
"Kalau ini diteruskan sampai 2019, estimasi kami paling hanya bertambah 300 MW sehingga total kapasitas maksimum hanya 1.200 MW. Ini tentu jadi perhatian karena dalam visi misi Jokowi, kedaulatan energi dan pemanfaatan EBT dulu disebut-sebut," katanya.
Dengan capaian porsi EBT dalam bauran energi yang saat ini baru 8 persen, pemanfaatan EBT masih disebut sangat lambat. Padahal sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) capaian saat ini seharusnya sudah mencapai 16 persen agar bisa mencapai target 23 persen pada 2025.
Fabby mengaku memahami fokus utama Presiden Jokowi saat ini adalah meningkatkan akses listrik dengan membangun infrastruktur hingga listrik desa.
Rasio elektrifikasi pun ditaksir naik memenuhi target 96 persen pada akhir 2019. Namun regulasi yang ada justru dinilai menghambat perkembangan EBT.
"Indonesia punya sumber daya yang besar dengan 'size' (ukuran) macam-macam dari yang kecil sampai besar. Ini membuat potensi kita bisa lebih mudah dilihat investor. Kita juga PLN yang memberi kepastian adanya pembeli. Terakhir, isu perubahan iklim juga saya yakin akan mendorong pengembangan EBT di masa depan," katanya.
http://bit.ly/2SEA0O3
February 08, 2019 at 08:57PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2SEA0O3
via IFTTT
No comments:
Post a Comment