REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara menilai, perlambatan industri manufaktur besar dan sedang (IBS) sepanjang 2018 dikarenakan perang dagang antara Amerika dan Cina. Dua raksasa ekonomi dunia tersebut belum menyudahi konflik menyebabkan penurunan arus barang.
Dampaknya, Ngakan mengatakan, pertumbuhan ekonomi global juga tidak kunjung membaik sehingga permintaan dari luar negeri pun menurun. "Seperti rantai, ini juga berefek ke industri manufaktur," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (3/2).
Ngakan menegaskan, pemerintah berupaya memperbaiki kondisi ini dengan menciptakan iklim berusaha yang lebih kondusif. Fokus ini diharapkan mampu menarik investor, baik dari Cina maupun Amerika Serikat, untuk memperluas investasi yang ada di Indonesia. Harapannya, pasokan kedua arah dapat pulih secara berangsur.
Ngakan menjelaskan, kini terlihat komitmen dari sejumlah pelaku industri skala global yang ingin ekspansi di Indonesia. Misalnya, Apple, Coca-Cola dan General Electric. "Upaya ini diharapkan mampu menopang nilai investasi sekaligus mendorong pertumbuhan IBS pada 2019," katanya.
Sinyal positif juga terlihat saat acara World Economic Forum (WEF) 2019 di Swiss beberapa waktu lalu. Dalam acara tersebut, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto melakukan pertemuan dengan produsen kendaraan dan komponen listrik SF Motors, industri farmasi Abbott, serta perusahaan kereta api Stadler Rail Group. Secara umum, mereka merasa percaya diri untuk berinvestasi di Indonesia.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Adrianto mengatakan, apabila dilihat lebih mendalam, sektor pengolahan batubara dan migas terus mengalami penurunan.
"Tapi, sektor lain seperti makanan dan minuman tumbuh dengan baik," katanya.
Melihat kondisi ini, Adrianto menilai, penurunan sektor manufaktur ada hubungan dengan semakin menurunnya peran industri pengolahan sumber daya alam (SDA). Dinamika jual-beli komoditas SDA di tingkat internasional turut memberikan pengaruh.
Adrianto menambahkan, dari sisi fiskal, salah satu kebijakan untuk mendorong manufaktur adalah melalui tax holiday yang difokuskan pada industri hulu.
Kebijakan untuk mendorong industrialisasi juga sangat terkait dengan pengembangan ekspor. "Upaya pemerintah mendorong beberapa sektor dengan nilai saing tinggi seperti kendaraan bermotor, diharapkan akan bersamaan mendorong industri kendaraan bermotor," tutur Adrianto.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang memperlihatkan pertumbuhan produksi IBS pada 2018 hanya sebesar 4,07 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut melambat dibandingkan pertumbuhan pada 2017 yang sebesar 4,74 persen (yoy).
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, manufaktur mengalami tantangan berat perang dagang, perlambatan ekonomi dunia, dan fluktuasi harga komoditas seperti minyak kelapa sawit. "Itu semua memberikan pengaruh," ujarnya di Jakarta, Jumat (1/2).
Makanan yang memiliki porsi dominan atau sebesar 25,41 persen terhadap total IBS justru tumbuh di bawah harapan. Industri makanan hanya tumbuh 7,4 persen (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan 2017 yang sebesar 9,93 persen (yoy).
Pertumbuhan terbesar berasal dari industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki yang naik 18,78 persen (yoy) dengan porsi 1,59 persen terhadap total IBS. Sementara, kontraksi terbesar terjadi pada industri komputer, barang elektronik, dan optik yang tumbuh negatif sebesar 15,06 persen (yoy) dengan porsi 2,83 persen
http://bit.ly/2MLjy9d
February 03, 2019 at 04:08PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2MLjy9d
via IFTTT
No comments:
Post a Comment