REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) akan melonggarkan kondisi likuiditas bagi perbankan nasional. Jaminan ini untuk memberikan stimulus makroprudensial sebagai kompensasi dari posisi kebijakan suku bunga acuan sebesar enam persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan posisi kebijakan suku bunga acuan Indonesia yang tetap tersebut untuk menjaga stabiliitas perekonomian, di tengah situasi pasar keuangan yang melunak (dovish) Bank Sentral AS The Federal Reserve. Langkah ini sebagai upaya menurunkan defisit transaksi berjalan dan mampu menarik modal asing.
"Untuk suku bunga kita fokuskan untuk stabilitas eksternal. Sedangkan untuk likuiditas, kita akan kendorkan, makroprudensial kita akan kendorkan, unuk menorong momentum pertumbuhan ekonomi, dan pembiayan ekonomi," ujarnya di Gedung BI, Jumat (22/2).
Selama empat bulan (November 2018 hingga Februari 2019) suku bunga acuan bertahan sebesar enam persen. Adapun suku bunga simpanan fasilitas deposit bank di BI (depocit facility) juga tetap 5,25 persen dan fasilitas penyediaan likuiditas bagi bank (lending facility) tetap 6,75 persen.
Kendati demikian, Perry masih enggan mengungkapkan kebijakan untuk melonggarkan makroprudensial. Dia memberi kisi-kisi pelonggaran makroprudensial akan menyasar sektor pariwisata, Usaha Mikro Kecil dan Menengah serta sektor-sektor yang berorientasi ekspor.
"BI juga akan memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," ucapnya.
Di samping itu, BI juga menjamin untuk memberikan stimulus makroprudensial. Namun, Perry enggan membeberkan lebih detail soal kebijakan pelonggaran makroprudensial.
Hanya saja, pelonggaran makroprudensial akan menyasar sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pariwisata, serta sektor-sektor yang berorientasi ekspor. "Kebijakan makroprudensial yang akomodatif bentuknya kami sedang kaji lebih lanjut, bisa juga instrumen-instrumen yang ada sekarang itu seperti intermediasi perbankan, itu bisa. Tapi kita tingkatkan akomodasinya, artinya, agar bisa mendorong pembiayaan ke ekonomi, ke sektor riil," ungkapnya.
Sepanjang 2019, BI dan pemerintah harus mampu menurunkan defisit transaksi berjalan hingga 2,5 persen dari PDB, dari defisit transaksi berjalan di 2018 yang sebesar 2,98 persen PDB. Penurunan defisit transaksi berjalan memerlukan upaya keras mengingat tengah masih tingginya laju impor, termasuk impor untuk memenuhi permintaan minyak dan gas.
Penurunan impor harus dilakukan berbarengan dengan meningkatkan kinerja eskpor. Maka dari itu pelonggaran kebijakan makroprundesial juga akan menyasar motor-motor pendorong ekspor.
https://ift.tt/2XkEfxA
February 22, 2019 at 03:02PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2XkEfxA
via IFTTT
No comments:
Post a Comment