Pages

Thursday, March 28, 2019

Dinamika Selat Malaka dan Cikal-Bakal Kesultanan

Kesultanan Malaka muncul dari dinamika di sekitar selat tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selat Malaka merupakan kawasan yang sangat strategis karena menghubungkan jalur pelayaran antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Sejumlah penguasa jatuh-bangun menduduki kawasan pesisir di sekitar perairan ini. Bangsa Cina dan India diketahui telah mendirikan kota-kota pelabuhan di pantai Semenanjung Malaya pada abad pertama.

Keberadaan mereka menyebabkan persebaran ajaran Hindu-Buddha. Puncaknya ketika Langkasuka terbentuk di daerah tersebut pada abad kedua. Kerajaan ini terus bertahan hingga penaklukan oleh Sriwijaya.

Pada abad ketujuh, Sriwijaya mulai menguasai seluruh Selat Malaka, Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat. Kerajaan yang berpusat di Palembang itu menjadi sangat maju. Namanya dikenal hingga antara lain Dinasti Umayyah di Damaskus, Suriah. Sriwijaya menganut kepercayaan resmi Buddha tetapi menjalankan politik kosmopolitan. Karena itu, hadirnya komunitas-komunitas non-Buddha, termasuk Islam, tidak dilarang di wilayahnya.

Pada abad ke-11, wangsa Chola dari India menyerbu Sriwijaya. Kerajaan yang pernah berjaya 500 tahun lamanya ini tidak mampu menjaga keutuhan wilayahnya di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Pecahan Sriwijaya di Sumatra Tengah berkonsolidasi menjadi Dharmasraya. Namun, Majapahit kemudian muncul sebagai imperium maritim yang disegani di Nusantara. Penguasa Dharmasraya menjadi bawahan Majapahit, meskipun belakangan mandiri dengan membentuk kerajaan Pagaruyung yang cenderung bercorak pedalaman.

Raja Hayam Wuruk membawa Majapahit kepada masa keemasan. Berdasarkan informasi Nagarakretagama, hampir seluruh Nusantara dikuasainya. Kerajaan yang berpusat di Jawa ini memiliki armada militer yang kuat. Kepemimpinan militer Patih Gajahmada serta strategi diplomasi yang ulung juga menunjang hegemoni Majapahit sepanjang abad ke-14.

Selat Malaka menjadi salah satu sumber pemasukan Majapahit. Stabilitas politik dan keamanan di kawasan tersebut merupakan hal yang mutlak. Pada masa itu, Majapahit berhasil menaklukkan Samudra Pasai (Aceh), Palembang, dan Singapura. Dengan demikian, gejolak di Selat Malaka pun dapat diantisipasi.

Sebagaimana Sriwijaya dahulu, Majapahit juga menjalankan kebijakan kosmopolit. Kota-kota pelabuhan yang dikuasainya terbuka untuk didatangi bangsa dari mana saja, tanpa memandang perbedaan keyakinan. Islam pun mulai tersebar di Nusantara seiring dengan perdagangan yang melalui Selat Malaka. Kaum Muslim dari luar negeri, utamanya India, aktif menyebarkan Islam di Sumatra dan Semenanjung Malaya pada abad ke-13.

Sebaliknya, gejolak politik pada era Dinasti Abbasiyah (750-1258) menyebabkan berkurangnya aktivitas perdagangan maritim bangsa Arab di Nusantara. Oleh karena itu, banyak sarjana menyimpulkan Islamisasi di Samudra Pasai—kerajaan Islam aswaja pertama di Nusantara—dilakukan kaum saudagar Muslim India. Demikian kutipan Jajat Burhanudin dalam buku Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017).

Setelah kematian Hayam Wuruk dan Gajahmada, Imperium Majapahit terpuruk dalam perang saudara. Daerah-daerah pun melepaskan diri dari pengaruh pusat di Jawa. Di kawasan Selat Malaka, raja-raja Muslim mulai berperan signifikan dalam menggeser hegemoni Majapahit. Sejak kekalahan Samudra Pasai, peran ini dilanjutkan Kesultanan Malaka yang berpusat di pesisir Semenanjung Malaya.

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2Ww7oF3
March 28, 2019 at 04:10PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Ww7oF3
via IFTTT

No comments:

Post a Comment