REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanpa fiksi, kehidupan terasa sempit. Manusia memerlukan cerita rekaan untuk membayangkan yang tak-mungkin. Albert Einstein, ilmuwan genius yang berkontribusi besar di bidang fisika, bahkan mengakui pentingnya khayalan untuk memperluas wawasan. Katanya, “Logika akan mengantarkanmu dari titik A ke titik B. Tetapi imajinasi membawamu pergi ke mana pun.”
Tidak hanya membebaskan individu, fiksi juga memiliki fungsi sosial. Setiap masyarakat biasanya punya tradisi bercerita yang diwariskan turun-temurun, sehingga melestarikan nilai-nilai budaya khas mereka.
Salah satu bentuk cerita fiktif yang masih terus digemari adalah dongeng. Genre ini disebut pula cerita pelipur lara karena dapat menghibur para pendengarnya.
Dongeng dapat menjadi sarana pedagogis atau bahkan wahana protes politik tersirat dari kaum papa terhadap penguasa. Walaupun fiktif, ceritanya tidak menutup kemungkinan beririsan dengan fakta historis. Oleh karena itu, dongeng sering menjadi objek penelitian yang tak habis-habisnya bagi para ilmuwan humaniora.
Tradisi dongeng sudah muncul sejak zaman purba. Buku Storytelling: An Encyclopedia of Mythology and Folklore mengungkapkan prasasti tertua yang merekam tradisi tersebut.
Artefak yang diduga berasal dari masa 2560 tahun sebelum Masehi (SM) itu menggambarkan suatu peristiwa ketika anak-anak Firaun Khufu berupaya menghibur ayahnya dengan menuturkan kisah-kisah.
Dongeng pertama yang tampil dalam bentuk tertulis berasal dari Mesir Kuno kira-kira 1500 SM. Judulnya, “Sang Pangeran dan Tiga Takdir yang Dijalaninya.” Ceritanya sudah populer di tengah masyarakat setempat jauh sebelum mengambil bentuk tertulis, yakni bagaimana pangeran menyelamatkan putri yang disandera penjahat.
Tradisi dongeng dapat berkelanjutan karena adanya tukang dongeng (storyteller). Sejarah profesi ini juga merentang panjang. Homer dari Yunani Kuno merupakan pendongeng yang diakui paling purba.
Sosok penutur epos Illiad dan Odyssey itu hidup sekitar abad kedelapan SM. Para peneliti memperkirakan, Homer menyampaikan secara lisan dua teks tersebut kepada orang ramai sebelum menuliskannya.
Selain dia, ada pula Aesop yang sama-sama berasal dari peradaban Yunani. Namanya terkenal lantaran fabel-fabel yang tak lekang oleh waktu.
Fabel, ketika Hewan Berbicara
Fabel merupakan cerita fiktif tentang hewan-hewan yang tampil dan bertingkah laku seolah-olah manusia. Dengan personifikasi binatang, penerima cerita diharapkan tidak tersinggung atau menikmatinya sebagai perandaian belaka.
Hewan-hewan yang menjadi tokoh cerita bermacam-macam, tetapi selalu akrab di telinga pendengar. Fabel-fabel Aesop sampai hari ini masih diajarkan di sekolah-sekolah atau didongengkan oleh para orang tua kepada anak-anaknya sebelum tidur. Hal itu disebabkan adanya kandungan pesan moral di dalam teks sastra itu.
Kalangan ahli sejarah sampai saat ini belum menyepakati, apakah Aesop itu tokoh historis yang riil atau bukan. Begitu pula, apakah Aesop merupakan pengarang fabel-fabel yang dituturkannya.
Bagaimanapun, ada ribuan teks dengan macam-macam bahasa yang mengambil rujukan pada Aesop. Beberapa cendekiawan termasyhur—semisal Aristoteles (filsuf yang guru Iskandar yang Agung), Herodotus (‘Bapak Sejarah’), dan Plutarch (penulis biografi Yunani Kuno)—juga pernah menyebutkan riwayat tentangnya.
Figur itu dipercaya sebagai seorang bekas budak yang hidup pada abad kelima SM di negeri Yunani. Oleh karena piawai menuturkan kisah-kisah yang menarik perhatian khalayak, dia menjadi terkenal sehingga dibebaskan dari status hamba oleh tuannya.
https://ift.tt/2TIA5kh
March 11, 2019 at 05:16PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2TIA5kh
via IFTTT
No comments:
Post a Comment