REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO -- Kerabat co-pilot Lion Air JT 610 Harvino yang menjadi korban kecelakaan Boeing 737 MAX 8 menyatakan belasungkawa atas kecelakaan pesawat Ethiopeian Airlines. Hal ini disampaikan oleh pengacara Thomas G Gardiner dari firma hukum Gardiner Koch Weisberg & Wrona di Chicago, yang mewakili kerabat Harvino dalam gugatan hukum ke Boeing.
"Kami menyampaikan belasungkawa terdalam kami kepada keluarga dan teman-teman pilot, kru dan penumpang yang meninggal dalam penerbangan Ethiopian Airlines ET 302. Kami dengan cemas menunggu hasil dari penyelidik untuk meninjau kesamaan antara tragedi ini dan Lion Air 610," ujar Gardiner dalam pernyataan resminya di website firma hukum Gardiner Koch Weisberg & Wrona, Selasa (12/3).
Selain itu, kliennya dari Indonesia juga mengungkapkan simpati terdalam mereka. "Kami tahu betul perasaan keluarga kru dan penumpang saat ini. Belasungkawa kami yang terdalam atas kehilangan mereka," kata Novi Cahyadi, kakak laki-laki Harvino.
Gardiner Koch Weisberg & Wrona mengajukan gugatan pada bulan Desember 2018 terhadap Perusahaan Boeing atas nama keluarga Harvino, co-pilot Lion Air Flight 610, yang meninggal ketika pesawat Boeing 737 MAX 8 jatuh di Laut Jawa pada 29 Oktober, 2018. Semua 189 orang di pesawat meninggal karena kecelakaan tersebut.
Kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines Boeing 737 MAX pada hari Ahad (10/3) datang beberapa hari setelah anggota keluarga 17 korban bencana Lion Air tahun lalu mengajukan gugatan lain terhadap Boeing. Gugatan pada Kamis (7/3) tersebut menuduh perusahaan memasang sistem kontrol penerbangan yang salah di pesawat dan gagal memberi tahu pilot tentang hal itu.
Anggota keluarga yang disebutkan dalam gugatan terbaru menuduh Boeing tidak memberi tahu pilot dengan baik bahwa sistem akan bekerja tanpa perintah, seperti dilansir di LA Times.
Laporan awal yang dirilis pada bulan November 2018 mengatakan bahwa pembacaan sensor yang salah kemungkinan telah memicu sistem kontrol penerbangan otomatis yang mengirim pesawat mengarah ke bawah 26 kali dalam ketinggian di bawah 5.000 kaki.
Perangkat lunak, yang dikenal sebagai sistem augmentasi karakteristik manuver atau MCAS, dirancang untuk menggagalkan kondisi stall (hidung pesawat miring 15 derajat ke atas) dengan secara otomatis mengoreksi kondisi tersebut untuk mengkompensasi mesin yang lebih besar, hemat bahan bakar yang menggeser pusat gravitasi pesawat ke depan.
Mereka mengatakan perusahaan lalai untuk tidak membangun fail-safe ke dalam sistem MCAS. Sistem otomatis, mereka duga, dibangun untuk memaksimalkan keuntungan karena Boeing dapat menggembar-gemborkan 737 yang baru karena hanya membutuhkan sedikit pelatihan tambahan.
“Menghasilkan laba di pasar yang sangat kompetitif seringkali melibatkan pengurangan langkah-langkah keamanan. Dalam hal ini, Boeing memangkas pelatihan dan sepenuhnya menghilangkan instruksi dan peringatan pada sistem baru," kata Charles Herrmann dari Herrmann Law, firma hukum yang berbasis di Seattle dan Tacoma yang mewakili keluarga, mengatakan dalam sebuah pernyataan.
"Boeing menyampaikan belasungkawa dan simpati tulus kami kepada keluarga dan orang-orang terkasih dari mereka yang naik Lion Air Flight 610," tulis juru bicara Boeing dalam email ketika ditanya tentang gugatan dan tuduhannya.
"Saat investigasi berlanjut, Boeing bekerja sama sepenuhnya dengan otoritas investigasi. Kami tidak akan mengomentari mengenai gugatan secara langsung," kata Boeing.
https://ift.tt/2VVyuVY
March 12, 2019 at 04:44PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2VVyuVY
via IFTTT
No comments:
Post a Comment