REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai jalur penghubung antara Asia Barat dan Asia Timur, Selat Malaka mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar kepada raja-raja Malaka. Mereka pun berupaya memberikan jaminan keamanan bagi kelangsungan perdagangan di sana.
Penerimaan para penguasa itu terhadap Islam juga berimplikasi positif pada keutuhan negeri. Mengutip Wolters (1970), Burhanudin--penulis buku Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017)--mencatat, beralihnya raja-raja Malaka menjadi Muslim merupakan cara yang efektif. Sebab, dengan begitu, kerajaan ini dapat terhindar dari isolasi internasional pasca-surutnya keterlibatan Cina di Nusantara. Bahkan, kejayaan Malaka melampaui apa yang pernah dicapai Samudra Pasai.
Kejayaan Malaka
Kesultanan Malaka mencapai masa keemasan sejak berada di bawah pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1445-1459). Pada zaman itu, kerajaan tersebut mengeluarkan mata uang sendiri sebagai respons atas perkembangan signifikan Pelabuhan Malaka. Bandar internasional ini menjadi sangat ramai oleh para pedagang dari mancanegara. Pada gilirannya, ekonomi kesultanan terdongkrak sehingga mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Sultan Muzaffar Syah merupakan raja kelima yang memerintah Malaka. Ekspansi kesultanan ini bergeliat pesat pada masanya. Dia berhasil menaklukkan antara lain Manjong, Selangor, Batu Pahat, Kampar dan Indragiri. Dia juga dapat menghadapi serbuan Kerajaan Siam pada 1445 dan 1456. Keberhasilan ini ditunjang oleh kekuatan armada maritim Malaka serta dukungan orang-orang pesisir yang bersimpati terhadap sang sultan.
Hingga pengujung abad ke-15, Kesultanan Malaka sudah menguasai wilayah yang sekarang adalah Malaysia dan Riau, serta sebagian besar pesisir timur Sumatra. Artinya, kerajaan ini mengapit dua sisi jalur maritim internasional yang tidak pernah sepi di Asia Tenggara. Tidak mengherankan bila nama perairan selat yang dikuasainya itu sampai hari ini disebut sebagai Malaka.
Kebesaran Malaka terjadi pada sektor ekonomi. Pelabuhan Malaka menjadi pusat pengumpulan rempah-rempah dari Maluku, untuk kemudian diperdagangkan dengan para pelaut mancanegara. Demikian pula barang-barang mewah yang merupakan impor dari India atau Cina, semisal kain sutra atau porselen. Di luar itu, penguasa Malaka juga diuntungkan dengan pajak jalan yang ditarik dari kapal-kapal besar yang melewati perairan ini.
Raja-raja Malaka berupaya menjadikan Selat Malaka sebagai jalur yang selalu aman dan ramai dikunjungi para pedagang. Selain itu, kerajaan ini juga mengadakan hubungan diplomatik yang langgeng dengan negeri-negeri di pusat Dunia Islam. Istana Malaka kerap menyelanggarakan acara-acara penyambutan yang megah ketika para duta asing tiba dari kesultanan-kesultanan yang jauh, semisal Aden, Hormuz, Cambay, atau Bengal.
Malaka lantas berkembang menjadi sentra dakwah Islam di Sumatra selama abad ke-15. Raja-raja Malaka selalu mendukung penyebaran Islam di seluruh wilayahnya dan Asia Tenggara pada umumnya. Selain itu, mereka juga memiliki ketertarikan pada sufisme. Seperti diungkapkan Barbara W Andaya dalam Historic Cities of the Islamic World (2007), sejak semula kaum salik diterima dengan penghormatan oleh masyarakat Melayu. Kecenderungan ini juga terjadi pada kalangan elite setempat.
Kitab Sulatus Salatin, misalnya, memuat beberapa pujian terhadap hujjatul Islam Imam Ghazali, seorang pakar tasawuf dari Persia. Selain itu, disebutkan bahwa Sultan Mansur pernah berguru pada seorang salik asal Mekkah. Suatu kali, pengganti Sultan Muzaffar Syah ini mengutus guru tersebut ke Pasai untuk meminta penjelasan kitab tasawuf Durr Manzum.
Di lain waktu, Sultan Mansur juga mengunjungi seorang kadi Pasai untuk mendapatkan jawaban tentang ajaran Abdul Karim Al-Jili terkait surga dan neraka. Tampak bahwa penguasa Kesultanan Malaka sudah mengenal kitab-kitab tasawuf yang sedang berkembang pada abad ke-15 di Asia Barat.
https://ift.tt/2JVwfjY
March 28, 2019 at 04:22PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2JVwfjY
via IFTTT
No comments:
Post a Comment