REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- TNI menjanjikan proses pencoblosan pada Pemilu 2019 akan berlangsung aman. Penegasan itu disampaikan Kapendam XVII/Cenderawasih Kolonel Infanteri Muhammad Aidi menyusul ultimatum kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang dikhawatirkan mengganggu jalannya Pemilu 2019 di Papua.
Aidi memastikan prajurit TNI akan memastikan proses pencoblosan tetap berjalan aman pada 17 April mendatang. "Pergerakan mereka yang akan menggagalkan pemilu, mereka sudah melakukan ultimatum tersebut, tapi tidak ada pengaruhnya dengan pemilu kita," kata Muhammad Aidi kepada Republika.co.id, Ahad (10/3).
Aidi menerangkan, sistem pemilu di Papua menggunakan sistem noken, sehingga tidak ada mengerahkan warga Papua menuju tempat pemungutan suara (TPS). Sistem noken yakni pemilihan yang hanya diwakilkan oleh kepala suku.
Jadi, tidak akan berdampak signifikan dengan ancaman itu. Di TPS yang hadir kepala suku saja, ini sistem noken.
"Kalau seandainya ancaman dilakukan di Jawa melakukan tindakan teror sehingga tidak ada masyarakat yang datang ke TPS," kata dia.
Sebenarnya, kata Aidi menambahkan, pengamanan pemilu merupakan tugas polisi. TNI, kata dia, hanya membantu sebagai pendukung jalannya pemilu jika kepolisian membutuhkan bantuan setiap saat.
"TNI hanya mem-back up apabila diminta, namun demikian selu ruh personel Kodam siap setiap saat apabil a dibutuhkan pengamanan," kata Aidi.
Saat ditanyakan apakah akan ada operasi khusus, Aidi mengaku semua bergantung pada pemerintah. Apabila pemerintah sama halnya dengan TNI yang menganggap bahwa kelompok kriminal di Papua bukanlah kriminal bersenjata biasa, tapi kelompok sparatis.
"Sebenarnya kalau keputusan politik memungkinkan ini sebenarnya ada operasi pemberantasan sparatis sesuai dengan UU 34," kata Aidi.
Sayangnya, tambah Aidi, pemerintah masih belum mau menyebut kelompoknya tersebut sebagai kelompok sparatis. pemerintah masih menyebutkan dengan KKB.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan TNI dan Polri untuk menyelesaikan persoalan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua. "Iya ini sudah saya perintahkan sejak peristiwa yang pertama dulu untuk dikejar, diselesaikan," kata Presiden kepada wartawan usai meresmikan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar di Gerbang Tol Natar pada Jumat lalu.
Menurut Presiden, tantangan dalam pengejaran pelaku penembakan yakni medan hutan belantara yang berat. Hal itu mempersulit personel Polri mau pun TNI dalam melakukan penangkapan.
Sementara, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengaku nama Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua menjadi salah satu kendala bagi TNI untuk menyelesaikan masalah tersebut. Moeldoko menilai, KKB Papua lebih baik disebut sebagai kelompok separatis sehingga akan mempermudah TNI dalam melakukan penumpasan.
"Saya sudah pernah menyampaikan perlunya meng evaluasi lagi nama itu, kelom pok kriminal bersenjata, pertanyaannya benar gak mereka kelompok kriminal, kalau saya mengatakan tegas saja kalau kelompok separatis ya kelompok separatis," kata Moeldoko.
Ia berpendapat, perubahan nama KKB menjadi kelompok separatis dapat menaikkan status operasi penumpasan kelompok tersebut di Papua. Sebab, selama ini nama KKB justru membatasi tugas TNI dalam melakukan penumpasan.
"Sehingga status operasinya ditingkatkan karena kalau terus-terusan kelompok kriminal nanti TNI terus-terusan jadi santapan mereka, TNI melihat ini kekuatan tapi nggak bisa gue di depan, harus polisi yang di depan," ungkapnya.
Sebelumnya, terjadi penyerangan kepada pos TNI, sehingga baku tembak antara kelompok sipil bersenjata dengan TNI di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, pada Kamis tidak terhindarkan. Kejadian itu menggugurkan tiga prajurit TNI yang tergabung dalam Satgas Nanggala, yakni Sersan Dua Mirwariyadin, Sersan Dua Yusdin, dan Sersan Dua Siswanto.
https://ift.tt/2TACT3W
March 11, 2019 at 05:35PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2TACT3W
via IFTTT
No comments:
Post a Comment