REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gerald Butt dalam Life at the Crossroads: A History of Gaza (1995) menampilkan fakta lengkap tentang Gaza. Butt menyebutkan, jatuh bangunnya kawasan tersebut, bagaimana Gaza menjadi pusat pertemuan peradaban Eropa, Asia, dan Afrika, serta Gaza yang pernah menjadi pelabuhan bagi para penjelajah dan pedagang jalur Mediterania.
Butt juga menunjukkan hal kontras antara kondisi Gaza yang mengenaskan saat ini dan kondisi kegemilangannya pada masa lampau. Dia mengutip pernyataan misionaris dari Italia yang berkunjung ke Gaza pada 570 Masehi. Dikatakannya, Gaza merupakan sebuah kota yang indah serta dipenuhi penduduk yang cerdas dan berprinsip liberal.
Gaza bak sebuah wilayah emas yang pernah diperebutkan pasukan dari pelbagai kawasan dunia. Di antaranya pasukan dari Mesir, Babilonia, Persia, Yunani, Roma, Israel, Bizantium, Arab, Seljuk, Mamluk, Turki, dan tentara Perang Salib. Walhasil, gesekan sosial tersebut justru melahirkan perkembangan teknologi dan budaya yang pesat di Kota Gaza.
Di bawah pemerintahan Yunani, misalnya, Gaza pernah memiliki sebuah perpustakaan megah, sedangkan saat diperintah kekaisaran Roma, administrasi pemerintahan Gaza sangat efisien didukung pembangunan gedung-gedung birokrat. Saat Bizantium berkuasa, dibangunlah gereja utama oleh Ratu Eudoxia. Ada pula sekolah pidato, forum diskusi, asosiasi, serta pembangunan jalan-jalan utama.
Dalam tulisannya, Butt juga berusaha membuktikan jika penggambaran tentang karakter penduduk Gaza tak sama dengan bayangan bangsa Barat. Mereka cenderung mengambil kesimpulan dari Kitab Perjanjian Lama yang menyatakan, Gaza dipenuhi orang-orang Palestina yang selalu memerangi kaum Yahudi.
Sebenarnya, ciri-ciri orang Palestina sangat misterius dan berbeda dengan penduduk Muslim di Gaza saat ini. Dulu, mereka dikenal dengan sebutan Orang Laut karena mengarungi dan tinggal di deretan karang selatan dan timur Laut Mediterania. Mereka sudah ada di sana sejak abad ke-12 sebelum Masehi (SM). Mereka berhijrah ke Gaza pada 1175 SM.
Fisik orang Palestina juga berbeda dengan penduduk pribumi Gaza. Mereka mengenakan sabuk kulit dan penutup kepala dari besi, serta mengendarai kereta. Interaksi intens mereka dengan penduduk di Kepulauan Aegean. Mereka mengembangkan lima wilayah kota di bagian karang Levantine selatan. Kota Gaza ditetapkan sebagai pusat pemerintahannya.
Sejatinya, sifat orang Palestina jauh lebih beradab dibandingkan penduduk lokal bangsa Semit. Kebudayaan mereka telah terbentuk sejak dua milenium sebelumnya. Sifat mereka berubah menjadi kasar sejak berusaha dikuasai bangsa Seljuk.
Setelah menjadi perebutan dan dihuni berbagai karakter budaya selama 3.000 tahun, tak pelak eksistensi keagamaan penduduk Gaza juga beragam. Nenek moyang mereka mengalami masa pemerintahan Raja Firaun, mengenal Injil dari kaum Palestina, kepercayaan Helenistik dari Roma dan Bizantium, serta kedatangan Islam dari bangsa Turki Usmani.
Campuran berbagai budaya itu otomatis memengaruhi keragaman artefak Gaza. Tengok saja setidaknya ada sekitar 530 benda yang terkumpul di pameran di Jenewa tadi. Selain memperkenalkan sejarah Gaza yang multikultural, koleksi ini membuktikan bahwa kekerasan antaragama di Gaza hanya berlangsung pada abad modern ini.
Ragam koleksinya pun mewakili beberapa dinasti kerajaan selama dua abad lalu. Usia koleksinya diperkirakan ada yang mencapai 5.000 tahun, seperti detail kumbang Mesir yang mengelilingi pahatan dari Yunani. Detail ini ditemui pula di lukisan mozaik Bizantin, lampu minyak Suriah, koin Prancis, dan teko Roma.
Pengaruh Islam juga terlihat dari lampu minyak dengan dekorasi tulisan Arab dari masa pemerintahan khalifah Umayya pada abad ketujuh hingga abad kedelapan M. Begitu juga nisan besi dari abad ke-12 dan 13 M milik Ayyubid Gaza yang bertuliskan Arab. Periode Mameluk pun diwarnai garis Islam dari piring berlukiskan motif pohon kelapa.
http://bit.ly/2Dx4CrS
April 25, 2019 at 08:20PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2Dx4CrS
via IFTTT
No comments:
Post a Comment