Pages

Friday, October 11, 2019

AS Tampik Tuduhan Tinggalkan Pasukan Kurdi di Suriah

AS sebelumnya menjadi sekutu pasukan Kurdi yang saat ini digempur Turki.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) membantah tuduhan telah mengabaikan pasukan Kurdi di Suriah, Jumat (11/10). Padahal, Turki telah melakukan operasi militer ke bagian timur laut negara itu.

"Untuk lebih jelasnya, kami tidak meninggalkan pasukan mitra kami, Kurdi, dan pasukan AS tetap bersama mereka di bagian lain Suriah. Tindakan impulsif Presiden (Recep Tayyip) Erdogan untuk menyerang Suriah utara telah menempatkan Amerika Serikat dalam situasi yang sulit," ujar Menteri Pertahanan AS Mark Esper, dikutip dari Aljazirah, Sabtu (12/10).

Esper menyatakan, AS sama sekali tidak memberikan lampu hijau untuk operasi militer yang dilakukan Turki di Suriah. Mereka justru mendorong agar operasi militer tersebut tidak dilaksanakan.

Komentar Esper muncul di tengah kritik tajam terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik kembali pasukan Amerika di kawasan itu. Keputusan tersebut artinya meninggalkan Syrian Democratic Forces (SDF) yang dipimpin Kurdi, sekutu utama AS dalam perangnya melawan ISIS.

Hanya beberapa hari setelah keputusan itu, Turki melancarkan operasi militer yang bertujuan membersihkan daerah perbatasan dari pejuang Kurdi. Ankara ingin menciptakan zona aman untuk memukimkan kembali pengungsi Suriah. Sedangkan SDF dipimpin oleh Kurdish People's Protection Units (YPG) dianggap oleh Turki sebagai kelompok teroris, sehingga akan ikut ditumpas.

Partai Demokrat dan Republika pun mengecam keputusan AS untuk menarik pasukan. Mereka menyatakan ketakutan atas apa yang akan terjadi pada Kurdi dan kemajuan yang dibuat dalam perang melawan ISIS.

Senator Republik Lindsey Graham, menentang keputusan AS. Dia menyatakan langkah tersebut "kesalahan terbesar kepresidenan [Trump]".

"Berdoalah untuk sekutu Kurdi kita yang telah ditinggalkan tanpa malu oleh pemerintahan Trump. Langkah ini memastikan munculnya kembali ISIS," kata Graham, ketika Turki meluncurkan operasinya pada hari Rabu (9/10).

Graham telah berjanji untuk memperkenalkan undang-undang bipartisan untuk menjatuhkan daftar sanksi pada Turki atas operasinya. Partai Republik di House of Representatives berjanji untuk melakukan hal yang sama.

Menyusul kritik itu, Trump berjanji akan menghancurkan perekonomian Turki, jika Ankara melakukan sesuatu yang dianggapnya terlarang. Ancaman itu diulangi oleh Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin. Dia mengatakan AS akan mematikan ekonomi Turki, jika Ankara bertindak terlalu jauh. Mnuchin mengatakan Trump telah menyetujui rancangan sanksi sangat signifikan yang dapat digunakan AS jika diperlukan

Meski mendapatkan tentangan dari banyak pihak, keputusan Trump menarik pasukan mendapatkan dukungan. Seorang rekan senior di CATO Institute  Doug Bandow, yang juga menjabat sebagai asisten khusus mantan Presiden Ronald Reagan, mengatakan tidak masuk akal untuk mengharapkan AS mempertahankan pasukannya di Suriah.

"Gagasan AS harus menjaga pasukannya di Suriah, menciptakan demokrasi dan membela Iran di Suriah adalah tidak masuk akal," kata Bandow.

Pensiunan jenderal AS dan mantan asisten menteri luar negeri Mark Kimmitt mengatakan, AS tidak menandatangani komitmen jangka panjang dengan Kurdi. Hubungan keduanya hanya bersifat sementara di medan perang.

"AS tidak mendukung ideologi YPG atau ambisinya untuk mendeklarasikan negara merdeka di Suriah utara," ujar Kimmitt.

Sementara itu, pasukan Turki telah mengintensifkan serangan di Suriah timur laut pada Jumat. Erdogan mengatakan, Ankara tidak akan berhenti dan akan bersikap tidak peduli atas apa yang dikatakan orang.

ISIS juga mengaku bertanggung jawab dalam serangan besar pertamanya sejak serangan Turki dimulai. Seorang pembom bunuh diri menghantam kota Qamishli di timur laut Suriah. 

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2oDkXXM
October 12, 2019 at 09:13AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2oDkXXM
via IFTTT

No comments:

Post a Comment