REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Anti-korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menilai, kebijakan politik Presiden Joko Widodo tidak memihak pada pemberantasan korupsi. Hal itu terkait keputusan Presiden Jokowi untuk tidak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Oce juga menilai, tak adanya perppu sebagai bentuk pengingkaran terhadap janji pemberantasan korupsi. Sebab, kata dia, salah satu janji politik Jokowi saat kampanye Pilpres 2019, adalah agenda memperkuat dan mempertajam KPK.
“Jadi, ini (penolakan menerbitkan Perppu KPK), menunjukkan memang janji politik Jokowi untuk memperkuat KPK hanya omong kosong,” kata Oce, Ahad (1/12).
Pada Jumat (29/11), staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman memastikan, Presiden Jokowi tak akan pernah menerbitkan perppu KPK. Alasannya, hasil revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 telah berlaku. “Tidak ada dong. Kan perppu tidak diperlukan lagi. Sudah ada undang-undang, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019. Tidak diperlukan lagi perppu,” ujar Fadjroel.
Menurut dia, sudah dua kali janji politik tersebut tidak ditepati. Sebelumnya, janji untuk mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK saat ada desakan masif aktivis dan mahasiswa yang menolak UU KPK Nomor 19/2019. “Menurut saya, memang sikap presiden ini semakin jelas, bahwa dia tidak memiliki keseriusan untuk pemberantasan korupsi dan untuk memperkuat KPK,” kata Oce.
Oce pesimistis pemberantasan korupsi dalam lima tahun mendatang akan semakin membaik. Sebaliknya, akan semakin mengkhawatirkan. Sebab, UU KPK 19/2019 akan menjadi basis hukum pemberantasan korupsi. Padahal, berisikan sejumlah pasal bermasalah yang melemahkan dan menghambat kinerja KPK.
Oce mencontohkan pasal terkait penyelidikan dan penyidikan yang membutuhkan birokrasi lebih panjang sampai kepada penuntutan. Kemudian, dibatasi dengan waktu dua tahun agar perkaranya tidak dihentikan. Apalagi, munculnya struktur baru Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan melebihi lima komisioner KPK.
Soal judical review UU KPK 19/2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Oce melihat itu tak ada hubungannya dengan Perppu KPK. Sebab, persoalan di MK adalah hak warga negara untuk menguji UU atas konstitusional. Sedangkan, Perppu yang diharapkan masyarakat merupakan hak prerogatif presiden. “Yang kita minta ada keberpihakan Presiden Jokowi terhadap KPK, untuk menyelamatkan KPK itu sendiri sesuai dengan janjinya untuk memperkuat KPK,” ujar Oce.
Para pegiat sipil juga menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang tidak menerbitkan Perppu KPK. Saat ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) berharap, MK menerima gugatan peninjauan ulang UU KPK 19/2019.
Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan, tidak diterbitkannya perppu menjadi tanda semakin melemahnya pemberantasan korupsi. UU KPK yang baru dinilai tidak akan ampuh melawan praktik memperkaya diri sendiri para pejabat negara. Paling dikhawatirkan, UU itu dijadikan alat mematikan peran fungsi KPK dari dalam. “Ini (penolakan penerbitan Perppu) memperjelas tanda-tanda, jika pemberantasan korupsi ke depan,” kata Asfina, Ahad (1/12).
Menurut dia, tanda-tanda pelemahan KPK sudah terasa sejak proses pemilihan pimpinan KPK 2019-2023. Panitia seleksi yang dibentuk dinilai tak mmemiliki keberpihakan dalam memilih figur berkompetensi dalam pemberantasan korupsi. Akhirnya, kata dia, terpilih para calon komisioner yang memiliki cacat etik dan administratif. n Bambang Noroyonoed: ilham tirta
https://ift.tt/33HUcjn
December 02, 2019 at 07:45AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/33HUcjn
via IFTTT
No comments:
Post a Comment