Oleh: Muhammad SUbarkah, Jurnalis Republika
Banten adalah wilayah bagian paling barat Pulau Jawa. Luasnya sekitar 114 Mil persegi. Di sekitar masa Gunung Krakatau meketus pada 1888 angka statisti resmi, penduduk Banten dalam tahun 1992 berjumlah 568.935 jiawa. Daerah paling padat penduduknya adalah Cilegon.
Di desertasi Prof Sartono Kartodirjo yang legendaris soal ‘Pemberontakan Petani Banten’ (The Peasent Riot of Banten in 1888, cetakan tahun pertama 1984) di sana juga diceritakan lebih detil soal topografi wilayah ini. Daerah ini dapat dibagi menjadi dua bagian yang sangat berbeda satu sama lain, Bagian selatan yang merupakan bagian terbesar (kala itu) daerah pegunungan, untuk sebagian besar terdiri dari hutan yang sangat jarang penduduknya Sebaliknya Banten Utara dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir abad XIX, tanahnya sebagian besar sudah digarap dan karena penduduknya sudah padat.
Kesultanan Banten yang didirikan pada tahun 1520 oleh para pendatang dari kerajaan Demak di Jawa Tengah yang dihapuskan Daendels dalam tahun 1808, meliputi daerag pesisir utara sebagai intinya. Wilayah-wilayahnya terdiri dari daerah pegunungan Banten. bagian barat Bogor dan Jakarta, dan juga Lampung di Sumatra bagian selatan.
Banten oleh pelawat-pelawat Portugis dinamakan Sunda Bantam. Sejak dulu merupakan pusat perdagangan lada dan maju pesat setelah Malaja direbut orang-orang Portugis dalam taun 1511. Namun wilayah ini memudar dengan cepat sebagai pusat perdagangan sejak Belanda mendirikan Batavia pada tahun 1619.
Lehih lanjut Sartono menulis, wilayah Banten pada saat itu dicapai dari banyak jurusan. Posweg (jalan pos/jalan yang dibuat Daendels) dalam tahun 1808, dimulai dari wilayah itu yakni Anyer. Jalan kereta api dibangun pada tahun 1896 dan menghubungkan Banten dengan Batavia. Banten mempunyai banyak pelabuhan, yang terpenting adalah anyer. (Dahulu kedatangan pertama kali Daendels ke Jawa melalui salah satu pelabuhan di sini. Untuk mencapai Batavia saat itu Daendels menempuh perjalan lebih dari satu pekan).
Dan memang, Banten dalam berbagai tulisan lainnya. juga daerah unik. Dengan disertasinya itu Sartono Kartodirdjo meraih gelar doktor dan penelitiannya soal ‘geger Banten’ ini menjadi penanda awal cara penulisan sejarah Indonesia agar tidak ‘kolonialis sentris’. Dalam hal ini pun masoh ada fakta lain betapa penting posisi Banten dalam kazanah sejarah bangsa Indonesia.
Hal itu adalah soal meletusnya Gunung Krakatau yang disebut sebagai salah satu letusan terbesar di dunia. Letusan Krakatau terjadi dan bermula pada tanggal 26 Agustus 1883 serta berpuncak dengan letusan hebat yang meruntuhkan kaldera. Pada tanggal 27 Agustus 1883, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya. Setelah itu dari dasar Selat Sunda anak gunung Krakatau tumbuh sampai berbentuk seperti sekarang.
Dan yang kedua, adalah penderitaan dan kemiskinan Banten yang kala itu memicu munculnya politik etis oleh Kolonial Belanda dengan novel legendaris , Max Havelar soal kisah Saijah dan Adinda. Penulisnya adalah Eduard Douwes Dekker yang menggunakan nama pena Multatuli. Novel ini membuka mata orang Eropa tahun 1860 tentang betapa buruk sistem kolonial dan kemiskinan di Banten. Ini imbas dari tanam paksa yang dilaksanakan kolonial Belanda setelah kekalahan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830.
Uniknya lagi, dalam disertasi Sartono Karodirdjo tersirat bahwa pemberontakan petani Banten itu juga tidak bisa dinafikan dengan imbas meletusnya Gunung Krakatau. Kemiskinan dan ketimpangan sosial yang sudah akut semakin akut. Rakyat Banten semakin menderita. Jadi istilahnya, hanya menunggu ledakan saja yang bisa disebabkan oleh apa saja.
Prof Sartono dalam disertasi tersebut menulis begini: Kita harus mengakui bahwa bukan hanya keburukan-keburukan ekonomi seperti adanya orang-orang yang lapar, yang melarat atau yang tidak mempinyai tanah, akan tetapi juga ketersingkiran-ketersingkiran yang disebabkan karena kehilangan kedudukan sosial, hak-hak politik, atau kehilangan warisan kultural, bisa menimbulkan frustasi yang tajam. Kita tidak boleh mengabakan kenyataan-kenyataan bahwa perasaan dhalang-halangi dibidang politik dan kultural kadang-kdang lebih penting daripada perasaan menderita di bidang ekonomi. Dalam periode bencana-bencana fisik - wabah penyakit ternah, wabah demam, kelaparan dan meletusnya Gunung Kraatau pada 1883 — tidak tercacat adanya kerusuhan sosial yang besar, sedangkan dalam tahun meletusnya pemberontakan tidak ada kesulitan yang parah.
Jadi sejarah dan imbas meletusnya Gunung Krakatau pada 1883 itu hendaknya menjadi bahan pelajaran semua pihak hingga kini. Bahwa yang harus diwaspadai dan cermati adalah efek sosial berikutnya. Ingat ada seorang petani Banten masa kini yang sudah bergurau soal kepapan dirinya yang tak punya lagi punya lahan dan anak-anaknya harus menjadi buruh pabrik di bekas lahan pertaniannya.’’Saya sebagai petani di Banten sudah 'makmur', yang artinya hanya punya ‘rumah dan sumur’,’’ katanya bercanda dengan memplesetkan kata ‘makmur’ itu.
Dan soal ini pun telah lama ada dan diperingatkan dalam penggalan sajak WS Rendra: Tokek dan Adipati Rangkasbitung.
Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek Ada tokek
Lho!
Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek Ada tokek
Walah, walah!
Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek Ada tokek
Awas! Awas!
Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek. Ada tokek Ada tokek
Awas! Waspada! Siaga! Siaaap!
http://bit.ly/2SjPALC
December 23, 2018 at 02:41PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2SjPALC
via IFTTT
No comments:
Post a Comment