Pages

Friday, February 1, 2019

Cuaca Ekstrem Tingkatkan Ancaman DBD di Sleman

Sampai 31 Januari 2019 sudah ada 49 kasus demam berdarah di Sleman.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Puncak musim hujan menghadirkan cuaca ekstrem di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di Kabupaten Sleman, cuaca ekstrem meningkatkan ancaman serius terhadap penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Novita Krisnaeni mengatakan, curah hujan yang tinggi betul-betul berdampak. Khususnya, kepada beberapa penyakit yang dekat dengan musim hujan.

Mulai DBD, leptospirosis, batuk, pilek dan diare. Dari beberapa penyakit itu, ia menekankan, yang masih menjadi masalah kesehatan di Kabupaten Sleman saat ini tidak lain merupakan DBD dan leptospirosis. "Sampai 31 Januari 2019 kita sudah ada 49 kasus demam berdarah," kata Novita, Jumat (1/2).

Ia bersyukur, sejauh ini tidak ada kasus kematian akibat DBD dan berharap tidak pernah ada di Kabupaten Sleman. Untuk leptospirosis, Novita mengungkapkan, saat ini belum ditemukan di Kabupaten Sleman.

Tindak lanjut kewaspadaan terhadap DBD dan leptospirosis, Dinas Kesehatan sendiri sudah mengeluarkan surat edaran terkait tingginya curah hukan. Utamanya sebagai antisipasi peningkatan ancaman DBD dan leptospirosis.

Imbauan kepada layanan kesehatan atau puskesmas di antaranya meningkatkan penyuluhan kewaspadaan penyakit DBD dan leptospirosis, dan edukasi kepada masyarakat meningkatkan perilaku hidup sehat.

Lalu, menggerakan peran serta masyarakat memberantas sarang nyamuk seperti menguras, menutup dan memanfaatkan kembali barang bekas. Ada pula abatisasi atau memberantas jentik nyamuk.

"Dan mengaktifkan gerakan satu rumah satu juru pemantau jentik (jumantik)," ujar Novita.

Puskesmas telah pula diminta senantiasa mengingatkan masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap gejala-gejalan DBD. Terkait itu, bila ditemkan seseorang yang panas tinggi mendadak agar segera berobat.

Selain itu, setiap didapatkan informasi kasus DBD, harus dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) dalam waktu 1x24 jam sejak diterimanya informasi kasus. Bila PE menemukan, wajib dilakukan fogging.

Fogging paling tidak dilakukan 3x24 jam sejak diterimanya informasi kasus DBD. Novita menekankan, tahun ini Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman mempersiapkan 200 fogging.

"Bukan berarti fogging yang kami sediakan untuk dilaksanakan secara asal tapi tetap sesuai SOP bila ditemukan kasus, dan bila terjadi pengembangan kasus," kata Novita.

Ia mengingatkan, walau fogging menjadi salah satu pilihan penanggulangan DBD, fogging memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dan, fogging hanya membunuh nyamuk dewasa, tidak membunuh jentik-jentik.

Selain membunuh nyamuk, karena yang disemprotkan merupakan racun, akan turut mematikan organisme lain yang akan mengganggu ekosistem. Fogging, efektif bila dilakukan pagi hari, dan akan mengganggu aktivitas masyarakat.

Menghindari resistensi kepada insektisida, Novita mengimbau agar pelaksanaan fogging menggunakan insektisida yang sudah disediakan Dinas Kesehatan. Ia tidak menampik, beberapa tempat-tempat usaha sudah meminta pelaksanaan fogging.

"Namun, selama tidak ada kasus di wilayah tersebut, sebaiknya fogging tidak dilakukan," ujar Novita.

Untuk deteksi dini DBD, mereka telah pula membagikan ke puskesmas-puskesmas antigen NS1. Itu merupakan glikoprotein yang bisa mendiagnosis infeksi virus DBD lebih awal DBD atau sebelum hari ketiga.

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2t0VeqR
February 01, 2019 at 03:43PM from Republika Online RSS Feed http://bit.ly/2t0VeqR
via IFTTT

No comments:

Post a Comment