IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Tujuan ibadah yang diwajibkan pada setiap diri umat Islam, termasuk haji adalah mencari rida Allah. Orang yang mampu meraih rida Allah dalam melaksanakan haji itulah yang mendapatkan haji mabrur (diterima). Dan, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW bahwa tidak ada balasan lain bagi haji mabrur, kecuali surga.
Menjadi haji mabrur tidaklah mudah. Banyak godaan dan rintangan yang siap menghadang. Karena itulah, setiap Muslim diperintahkan untuk senantiasa tulus dan penuh keyakinan mengharapkan rida Allah dalam menjalankan ibadah.
Dalam ibadah haji, Ali Syariati dalam bukunya Al-Faridhah al-Khamisah, menekankan pentingnya memahami nilai-nilai haji dalam kehidupan sehari-hari. Seorang Muslim yang selesai menunaikan ibadah haji sudah semestinya perilakunya menjadi lebih baik dibandingkan saat belum berhaji. Perilaku positif ini diterapkan ketika telah kembali ke negaranya masing-masing.
Pelaksanaan ibadah haji merupakan penempaan fisik dan mental. Ia telah memenuhi panggilan Allah melalui lisan Ibrahim dengan jawaban Labbaik Allahumma Labbaik (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah). Pernyataan ini bukan sekadar jawaban biasa, melainkan perjanjian terbuka dengan Allah yang disaksikan oleh jutaan manusia lainnya.
Sebab, dengan jawaban itu pula, ia telah memasrahkan dirinya untuk senantiasa patuh dan tunduk pada perintah Allah, serta menjauhi segala yang dilarang-Nya. Setiap jamaah juga telah berjanji melepaskan semua atribut keduniawian dan senantiasa bermunajat kepada Allah, sebagaimana ia berjanji dalam shalatnya, Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samawati wal ardh. (Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Allah, Pencipta langit dan bumi).
Pertanyaannya, mengapa sepulang haji hal itu tak membekas dihatinya? Lupakah dengan janji yang telah diucapkannya? Melalui penempaan individu seperti inilah, jelas Ali Syariati, seorang jamaah haji akan menjadi Mukmin sejati. Dia akan menyebarkan nilai-nilai luhur setelah berhaji. Sebab, dirinya telah menebus dosa-dosanya dengan menyembelih hewan kurban. Karena itu, tak pantas perjanjian yang telah diucapkan, kemudian dikhianati saat kembali ke Tanah Air.
Berkurban bukan semata-mata menyembelih hewan, tapi menyembelih nafsu duniawi (amarah dan kesombongan). Berkurban adalah bentuk kepedulian sosial. Berkurban adalah berbagi dengan sesama. Berkurban merupakan ujian untuk memberikan sebagian harta yang dicintai. Inilah arti dari kesalehan sosial yang semestinya diperoleh dari rentetan manasik haji. “Makanlah sebagian daripadanya. Dan, sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS Al-Hajj [22]: 28).
Berita Terkait
Setelah merampungkan manasik, jelas Ali Syariati, jamaah haji ibarat Nabi Ibrahim. Karena itu, perlu menanamkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari agar memberikan efek positif dalam diri.
Melalui karyanya ini, Ali Syariati juga menekankan pentingnya setiap Muslim dalam menjaga tiga pilar utama akidah, yakni tauhid, jihad, dan haji. Ketiga fondasi tersebut merupakan motor penggerak bagi umat Islam untuk menjadi seorang Muslim yang peka, terhormat, dan punya tanggung jawab.
https://www.ihram.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji/19/02/18/pn46p1313-menjadi-mabrur-tidaklah-mudah
February 18, 2019 at 05:17PM from Republika Online RSS Feed https://www.ihram.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji/19/02/18/pn46p1313-menjadi-mabrur-tidaklah-mudah
via IFTTT
No comments:
Post a Comment