REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengelana asal Portugis, Afonso de Albuquerque, meyakini bahwa tidak ada cara untuk sampai ke Malaka kecuali dengan menaklukannya. Pada April 1511, dia menyiapkan 18 unit kapal tempur dan 1.200 orang pasukan untuk bertolak dari Goa menuju Malaka.
Pada Juli 1511, Pelabuhan Malaka diserang armada Portugis. Sementara itu, Kesultanan Malaka tampak tidak siap dalam menghadapi serbuan ini. Di satu sisi, tidak semua pihak di lingkungan istana mematuhi Sultan Mahmud Syah. Di sisi lain, persenjataan Portugis lebih unggul daripada militer Malaka. Pada 10 Agustus 1511, Sultan Mahmud Syah pun melarikan diri dari Malaka bersama dengan tiga ribu pasukannya.
Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang mencapai Asia Tenggara dan bahkan berhasil mendirikan basis kekuasaan di sana. Kejatuhan Malaka pada 1511 merupakan awal dari kolonialisme bangsa-bangsa Barat atas Nusantara. Barbara W Andaya dalam Historic Cities of the Islamic World (2007) menggambarkan keadaan setelah Malaka dikuasai Portugis.
Banyak masjid di sana yang dihancurkan. Begitu pula dengan kompleks istana dan permakaman. Dari reruntuhan bangunan-bangunan itu, Afonso de Albuquerque mendirikan benteng pertahanan untuk Portugis. Sebagai contoh, Benteng A’Famosa berdiri di atas puing-puing bekas masjid raya Sultan Mansur. Dengan fakta-fakta demikian, tidak mengherankan bila sejumlah sejarawan melihat adanya sentimen agama dalam perang antara Portugis dan Malaka pada 1511.
Malaka Kian Sepi
Setelah benteng berdiri, Portugis segera menyusun tata pemerintahan baru di Malaka. Kali ini, kaum Hindu setempat disertakan dan bahkan kepada mereka diberikan posisi yang tinggi. Walaupun telah berupaya maksimal, jelas Andaya, Portugis tidak pernah bisa mengembalikan keadaan Malaka. Bandar ini tidak lagi ramai dengan aktivitas perdagangan internasional seperti sebelumnya.
Sepinya Pelabuhan Malaka disebabkan ulah Portugis sendiri. Para pedagang yang membuang sauh di sana justru dikenakan pajak yang lebih tinggi daripada ketika kesultanan masih berkuasa. Belum lagi perlakuan yang kasar dari petugas-petugas Portugis terhadap para pedagang Arab dan India Muslim.
Wajar bila mereka lebih memilih Aceh sebagai pelabuhan alternatif begitu hendak melintasi Selat Malaka. Selain Aceh, Pelabuhan Banten di Jawa juga menjadi kian ramai sejak jatuhnya Malaka pada 1511. Portugis juga dapat dikatakan gagal memonopoli perniagaan rempah-rempah dari Maluku. Para pedagang Muslim pada faktanya masih mengendalikan distribusi komoditas tersebut di Nusantara.
https://ift.tt/2Wqs0yo
March 28, 2019 at 04:39PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Wqs0yo
via IFTTT
No comments:
Post a Comment