REPUBLIKA.CO.ID, Untuk sementara ini, hati-hati bagi pihak-pihak yang menganjurkan golput kepada masyarakat. Sebab, pemerintah sedang mewacanakan hukuman pidana bagi penganjur ini.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, menyebutkan, pihak yang mengajak masyarakat untuk golput dapat dikenakan sanksi hukuman. Menurutnya, mengajak masyarakat golput merupakan tindakan yang mengacau.
"Yang mengajak golput itu yang namanya mengacau, itu kan mengancam hak dan kewajiban orang lain. Ada undang-undang (UU) yang mengancam itu," ujar Wiranto di Grand Paragon Hotel, Jakarta Barat, Rabu (27/3).
Ia mengatakan, Indonesia merupakan negara hukum. Jika ada sesuatu yang tidak tertib atau yang membuat kacau, maka akan ada sanksi hukuman bagi pihak-pihak yang membuat ketidaktertiban atau yang membuat kacau itu. Menurut dia, ada banyak UU yang bisa dikenakan terhadap pihak-pihak tersebut.
"Kalau UU Terorisme nggak bisa, UU lain masih bisa, ada UU ITE, UU KUHP bisa. Indonesia kan negara hukum," terangnya.
Selain itu, Wiranto juga mengatakan, saat ini masih ada beberapa ancaman yang patut diwaspadai. Di antaranya, politik uang, terorisme, radikalisme, dan hoaks yang mengajak masyarakat untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena tidak aman.
"Itu yang saya terus-menerus menyampaikan pesan kepada masyarakat, ayolah datang ke TPS, aman, aman. Aparat keamanan akan menjaga itu," terangnya.
Ia menjelaskan, saat ini, aparat keamanan telah siap mengamankan masyarakat untuk datang ke TPS dari kediaman masing-masing. Meski dari pengecekan terakhir terdapat sedikit kekurangan terkait penyelenggaraan pemilu, ia optimistis pada hari pencoblosan kekurangan-kekurangan itu sudah bisa teratasi.
"Hari ini checking terakhir, mereka akan rapat koordinasi, hal yang belum tuntas akan dituntaskan. Artinya, dari sisi keamanan, penyelenggaraan, fasilitator, sudah siap," jelas Wiranto.
Melihat kesiapan itu, masyarakat ia imbau untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput. Menurutnya, jangan sampai hak pilih yang ada setiap lima tahun sekali disia-siakan.
Peringatan tegas Wiranto tersebut, merupakan ancaman kedua yang ia serukan menjelang hari pemilihan umum pada 17 April mendatang. Sebelum mengancam para golput, Wiranto pekan lalu juga mengancam para pelaku kabar bohong, dengan pidana terorisme.
Wacana Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto akan memberi sanksi pidana bagi pihak atau kelompok penganjur golput disambut baik oleh Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf Amin. Juru Bicara TKN, Irma Suryani Chaniago mengatakan pihak yang mengajak golput pada pilpres 2019 merupakan pengacau demokrasi. Karena itu, menurutnya wajar apabila pemerintah akan memberi sanksi pidana bagi mereka yang menganjurkan golput pada 17 April nanti.
"Pengajak golput adalah manusia yang tidak punya moral dan tanggung jawab ! Soal sanksi biarkan regulasi yang menjawab, karena hukum tetap harus ditegakkan bagi para pengacau," kata Irma kepada wartawan, Kamis (28/3).
Irma yang juga Anggota Komisi IX DPR RI ini menegaskan, sekaliput tidak ikut memilih atau golput merupakan pilihan, tetapi, menurut dia, pihak yang menganjurkan golput melawan demokrasi. Sebab, sambung dia, mengajak golput itu sikap yang tidak bertanggung jawab. "Jadi memang harus diberikan sanksi," ujar politikus Nasdem ini.
Tetapi ia menilai soal sanksi yang akan diberikan, seperti apa tentu ada regulasi yang mengaturnya. Apakah dapat dijerat dengan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau tidak. Tentu nanti pengadilan yang akan memutuskan. Namun secara garis besar, Irma menyebut TKN sepakat akan adanya sanksi bagi mereka yang mengajak golput.
"Hak dan kewajiban warga negara adalah memilih dan dipilih, sedangkan golput adalah pilihan yang tidak bertanggung jawab," tegasnya.
Menolak
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga merespons pernyataan Wiranto yang menyebutkan pihak yang mengajak masyarakat untuk melakukan golput dapat dikenakan sanksi hukuman. Anggota Advokasi dan Hukum BPN Prabowo-Sandiaga, Ferdinand Hutahaean menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk kepanikan dari kubu calon presiden (capres) pejawat nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
"Saya mengerti betul situasi kebatinan di sana ya sedang panik menghadapi kekalahan di depan mata," kata Ferdinand saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (27/3).
Politikus Partai Demokrat tersebut mengaku bingung pasal apa yang akan dikenakan kepada orang-orang yang mengajak golput. Ia memahami maksud dari pernyataan Wiranto tersebut adalah untuk mengajak orang untuk tidak golput. Namun menurutnya cara tersebut dilakukan dengan cara yang salah.
"Saya mengerti tapi caranya salah. Bagaimana caranya agar orang tidak golput ya tentu kita mengedukasi masyarakat kita betapa pentingnya demokrasi kita harus dilakukan. Harus ada pilihan karena ini tekait masa depan bangsa dan masa depan kita semua, itu yang harus dilakukan," jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade. Apa yang dilakukan Wiranto menurutnya adalah bentuk dari kekhawatiran kekalahan Jokowi.
"Jadi kalau orang golput dikenakan UU saya rasa terlalu berlebihan, sudah kaya kita kembali ke zaman kegelapan," ungkap politikus Partai Gerindra.
Menurut Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju, UU yang disebutkan oleh Wiranto dapat dipakai untuk menjerat pihak yang mengajak golput tidak bisa digunakan. Wiranto menyatakan UU Terorime, UU ITE dan UU KUHP yang bisa mengancam.
Anggara menjelaskan, penggunaan ancaman pidana bagi ajakan golput pada masa pemilu sebenarnya telah diatur di dalam ketentuan Pasal 515 UU Pemilu. Namun, dengan memperhatikan unsur di dalam Pasal 515 UU Pemilu, ajakan golput yang dapat dipidana sudah dibatasi dengan tegas syarat-syaratnya.
Pertama, kata Anggara bahwa ajakan tersebut dilakukan pada saat pemungutan suara. Kedua, bahwa ajakan tersebut dilakukan dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih.
“Merespon keterangan yang menyatakan bahwa kampanye golput juga bisa dijerat menggunakan UU ITE, ICJR tidak menemukan adanya ketentuan di dalam UU ITE yang dapat digunakan untuk menjerat ajakan untuk golput,” ujarnya.
Menurutnya, ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang dalam UU ITE dan perubahannya saat ini hanya dapat digunakan untuk menjerat perbuatan-perbuatan seperti penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pelanggaran kesusilaan, muatan perjudian, muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen. Selain itu, informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan, ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, akses tanpa izin, perusakan informasi elektronik, dan perbuatan lain.
Tidak ada satu ketentuan pun dalam UU ITE lanjut Anggara, yang dapat digunakan untuk menjerat perbuatan kampanye golput sebagaimana disampaikan. Tidak hanya itu, sambungnya, dalam Pasal 146 hingga 152 KUHP pun telah dengan jelas dinyatakan beberapa perbuatan yang dapat dipidana terkait dengan Pemilu. Pasal 148 KUHP menyatakan bahwa “Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan sengaja merintangi seseorang memakai hak pilihnya dengan bebas dan tidak terganggu, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
"Artinya, perintangan terhadap penggunaan hak pilih yang dapat dipidana haruslah dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan dilakukan pada saat waktu pemilihan diadakan," jelasnya.
Ketentuan ini, tambahnya memiliki muatan yang hampir sama dengan Pasal 515 UU Pemilu. Namun, sekali lagi ICJR menilai bahwa kampanye golput yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat, tidak dapat dipidana menggunakan ketentuan ini.
Sementara, Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengungkapkan tidak ada sanksi pidana bagi individu yang golput dalam pemilu. KPU optimistis potensi golput masih bisa diatasi oleh penyelenggara dan peserta pemilu.
Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari, menegaskan soal sanksi pidana untuk golput tidak diatur dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. "Kalau tidak ada pasalnya, lantas mau dijerat menggunakan apa ? Memilih itu adalah hak," ujar Hasyim ketika dikonfirmasi wartawan, Kamis (28/3).
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa jalan masuk untuk pidana pemilu bisa dilakukan lewat Bawaslu. Meski demikian, hal tersebut harus dikuatkan dengan dasar hukum.
"Harus ada ketentuan soal tindakan yang dilakukan itu apakah masuk pidana pemilu," tambah Hasyim.
Sementara itu, Komisioner KPU, Viryan, menyatakan wacana memberikan sanksi pidana untuk individu yang golput sebaiknya tidak dilakukan. Selain tidak memiliki dasar aturan yang jelas, dirinya masih menilai potensi golput masih bisa diatasi.
"Sebaiknya tidak usah (dipidana), sebab dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak mengatur hal itu. Sehingga lebih baik, mengatasi golput dengan cara seperti saat ini saja, yakni mengoptimalkan edukasi kepada masyarakat," ujar Viryan ketika dijumpai wartawan, di kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (27/3).
Selain itu, KPU juga berupaya memperbaiki pelayanan jajaran penyelenggara pemilu di tingkat daerah supaya masyarakat bisa terakomodasi. KPU pun menyarankan peserta pemilu mampu memanfaatkan sisa waktu kampanye dengan program yang positif dan menarik masyarakat untuk memilih.
"KPU mempersiapkan hal terbaik, Bawaslu melakukan pengawasan terbaik dan peserta pemilu menyajikan kontestasi terbaik. Kalau semua aspek sudah baik, maka tentunya pemilih yang sebelumnya tidak tertarik akan jadi berpikir oh...ini menarik ya. Jadi tertarik (memberikan pilihan)," tambah Viryan.
Masih wacana
Pihak kepolisian menyatakan ancaman pidana bagi penganjur golput merupakan masih sebatas wacana.Hal itu masih perlu didiskusikan lebih lanjut.
"Itu kan wacana dan didiskusikan," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Mohammad Iqbal di Jakarta Selatan, Kamis (28/3).
Iqbal menjelaskan, pada prinsipnya, bila seseorang dengan sengaja menyampaikan literasi yang berakibat terjadinya huru hara atau kegaduhan, maka perkara inilah yang harus dikonstruksikan dengan pasal-pasal tertentu.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo menuturkan, pada dasarnya Polri menjerat suatu perkara berdasarkan fakta hukum yang ditemukan penyidik. Penggunaan pasal-pasal tertentu pada UU ITE pun tetap melihat fakta hukum yang ditemukan.
"Menggunakan sarana media elektronik ini UU ITE bisa atau dapat digunakan untuk menjerat seseorang sesuai dengan perbuatan berdasarkan fakta hukum yang betul-betul peristiwa itu terjadi," kata dia.
Terkait ajakan golput, Dedi enggan melakukan generalisasi penggunaan pasal tertentu. Dedi kembali menegaskan bahwa penggunaan pasal harus dilihat dari peristiwa yang terjadi.
"Dari penyidik akan melihat dulu perbuatannya, fakta hukumnya, sesuaui dengan alat bukti yang ditemukan penyidik, baru habis itu disusun konstruksi hukumnya masuk dalam KUHP kah, Pemilu kah, ITE kah, itu sangat tergantung peristiwa," ujar dia.
Sebelumnya, Menkopolhukam Wiranto kembali melontarkan pernyataan kontroversial. Setelah menyebut hoaks bisa diusut dengan UU Anti Terrorisme, kini Wiranto menyebut ajakan golput bisa dijerat dengan UU ITE. Pernyataan itu pun menimbulkan perdebatan di masyarakat.
https://ift.tt/2Ufjsgd
March 28, 2019 at 02:05PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Ufjsgd
via IFTTT
No comments:
Post a Comment