REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bilal bin Rabah langsung memantapkan hati begitu memeluk Islam. Padahal, waktu itu dia masih sebagai budak belian. Status paling rendah itu diembannya lebih sebagai warisan dari keturunannya dahulu.
Bilal lahir pada 580 Masehi di Mekkah dari keluarga budak keturunan Afrika. Ketika dewasa, suatu hari dia diam-diam pergi dari pekerjaannya untuk menghadiri majelis Rasulullah SAW. Di sana, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat.
Waktu itu, umat Islam masih merupakan minoritas yang rentan di Makkah. Majikan Bilal amat marah begitu mengetahui kepergian budaknya itu. Lebih murka lagi begitu mencurigai keislaman sosok keturunan Afrika ini.
Bilal tidak membantah dirinya telah mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Ia pun digiring ke tengah padang pasir untuk disiksa. Si majikan tidak sendiri, melainkan menyertakan kawan-kawannya yang juga petinggi kaum musyrikin Mekkah. Mereka hendak memaksa Bilal agar mengingkari Islam dan menyembah berhala-berhala.
Badannya dibentangkan di atas pasir yang panas. Matahari menyengat amat terik. Sebuah batu besar menindih tubuhnya. Semua kaki dan tangannya diikat dan ditambatkan pada empat tonggak. Orang-orang musyrik terus meneriakinya agar meninggalkan iman dan Islam.
Beberapa algojo juga mencambuk kepala dan bagian tubuh Bilal yang tidak tertindih batu besar. Namun, Bilal tetap tabah menjalani penyiksaan itu. Dari mulutnya hanya terucap kata yang terus diulanginya: “Ahad. Ahad. Ahad.” Allah Maha Esa. Satu-satunya yang pantas disembah. Bukan berhala-berhala itu.
Ketenangan Bilal justru menyurutkan keberanian orang-orang musyrik itu. Mereka pun merayu Bilal dengan iming-iming harta dan kebebasan bila ia mau menanggalkan iman dan Islam. Bilal tidak gentar. Ia terus melafalkan perkataan tauhid. Bahkan, tidak jarang senyum mengulas di bibirnya. Orang-orang Quraisy mungkin dapat menguasai raganya dan mengambil kebebasannya sebagai budak belian. Namun, dia tahu, tidak ada yang lebih berharga daripada iman di dalam dada.
Akhirnya, sampai kabar tentang siksaan yang dialami Bilal bin Rabah kepada Rasulullah SAW dan para sahabat. Saat itu, Abu Bakar ash-Shiddiq langsung mendatangi tempat penyiksaan. Benar saja, batu besar masih menindih tubuh Bilal. Luka-luka meliputi tubuhnya yang semakin lemah tak berdaya. Segera Abu Bakar mendatangi majikan Bilal dengan niat untuk membeli kebebasan budak tersebut.
“Apakah kalian akan membunuhnya hanya karena ia mengucapkan ‘Ahad’, meyakini bahwa Allah adalah Tuhan?” tanya Abu Bakar kepada Umayah bin Kalaf, si majikan itu.
Tanpa ragu, Abu Bakar mengeluarkan uang yang jumlahnya melampaui harga kebebasan Bilal. Umayah tidak melihat alasan untuk mempertahankan budak yang sudah disiksanya habis-habisan itu.
Jelas, bagi Umayah dan gerombolan musyrikin itu nyawa manusia tidak seberapa ketimbang harta. Mulai saat itu, Bilal menjadi seorang Muslim yang merdeka.
Abu Bakar lantas membimbing Bilal untuk bangkit. Ia membawanya ke kediaman Rasulullah SAW. Dia berikrar di hadapan Rasulullah SAW bahwa akan selalu membela dan menerima Islam sebagai agamanya. Inilah watak militan yang begitu besar, meskipun saat itu jumlah kaum Muslim masih tidak sebanding di hadapan kaum musyrik Mekkah.
https://ift.tt/2WeqG1I
March 20, 2019 at 04:25PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2WeqG1I
via IFTTT
No comments:
Post a Comment