Pintu gerbang Kastil Batavia bagian utara, hingga kini masih menjadi koleksi Museum Geraldtom, Australia Barat. Pintu gerbang itu tidak pernah sampai ke Batavia lantaran Kapal Batavia yang mengangkutnya dalam pelayarannya dari Belanda, nyasar ke Australia dan akhirnya karam di Morning Reef Pulau Abrolhos, 60 km dari Geraldton pada 4 Juli 1629.
Puluhan awak Kapal Batavia dilaporkan meninggal dunia karena tenggelam. Karamnya kapal diduga kuat karena keteledoran Kepala Kelasi Jan Evertsz. Ketika kembali ke Batavia, Evertsz ditangkap dan dieksekusi karena kesalahannya tersebut.
Kastil Batavia memiliki dua gerbang, selatan dan utara. Gerbang selatan memiliki banyak nama, yakni Amsterdamsche poort (Gerbang Amsterdam), Pinangpoort (Gerbang Pinang) atau Kasteelpoort. Gerbang selatan adalah pintu utama menuju Kota Batavia untuk penumpang kapal yang baru berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sementara gerbang yang tidak pernah sampai ke Batavia itu adalah untuk gerbang sebelah utara atau disebut Batavia Portico. Gerbang selatan dan utara untuk Kastil Batavia memang dibuat di Belanda. Gerbang selatan yang lebih dulu rampung pengerjaannya, langsung dikirim dan sampai dengan selamat ke Batavia. Namun berbeda dengan gerbang utara yang nyasar.
Gerbang selatan yang saat ini berada di persimpangan Jalan Cengkeh (Prinsenstraat), Jalan Tongkol (Kasteelweg), dan Jalan Nelayan Timur (Amsterdamschegracht), dan berhadapan dengan Balai Kota (Stadhuis -- sekarang Museum Sejarah Jakarta) itu kini hancur dimakan usia.
Pintu gerbang itu dipesan Gubernur Jenderal JP Coen. Saat bangkai Kapal Batavia yang nyasar itu ditemukan sekitar 300 tahun kemudian, atau pada 1963, bahan-bahan bangunan untuk pintu gerbang pesanan pendiri Batavia tersebut masih utuh. Bahkan, pengelola Museum Geraldtom sudah mengkonstruksi dan menjadikannya sebagai pintu gerbang seperti dicita-citakan Coen.
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta pada 2003 sempat berupaya memindahkan pintu gerbang seberat 32 ton itu ke Museum Bahari. Namun hingga kini upaya itu belum berhasil.
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI pernah mengadakan penelitian arkeologi untuk membuktikan sisa-sisa dan fondasi di sekitar Kastil Batavia. Dalam penelitian yang berlangsung selama 10 hari itu ditemukan sisa-sisa bata lama bagian dari kastil sesuai ukuran dan bentuk aslinya. Pecahan-pecahan keramik Cina dan Eropa dari berbagai periode dan pinggiran Kali Besar di kedua sisi.
Hasil penelitian menunjukkan, tiga abad lalu, Kali Opak di depan Kafe Galangan Kapal Batavia di Jl Tongkol (dekat Museum Bahari), dua kali lebih lebar dari sekarang. Lokasi Kastil Batavia ketika itu dikelilingi parit-parit yang kini merupakan sungai-sungai. Di sisi timur berupa Kali Besar. Sisi utara dan barat adalah Kali Opak. Sedangkan sisi selatan kali, di sekitar kastil, sudah diuruk. Letaknya diperkirakan sejajar dengan rel kereta api Jakarta Kota. Keberadaan kastil dikelingi sungai atau parit untuk pertahanan.
Jalan Tongkol di Pasar Ikan, sejak dulu merupakan jalan yang menghubungkan bagian utara dan selatan kastil Batavia. Di keempat sudutnya terdapat empat bastion yang menonjol keluar. Masing-masing dinamai : ‘Diamont’ (Intan), ‘Robijn’, ‘Parel’ dan ‘Safier’.
Di bastion-bastion ini ditempatkan gardu penjaga dengan meriam-meriamnya. Nama bastion yang masih tersisa adalah Kota Inten. Letaknya di depan Hotel Omni Batavia yang kini jadi terminal angkutan Jakarta Kota. Tembok-tembok di atas bastion-bastion disebut courtine atau gordijn.
Di tengah-tengah gordijn selatan dibuat pintu laandpoort (pintu gerbang darat) dan disebelahÿ20utara waterpoort (pintu gerbang laut). Di sebelah kastil kemudian dibuat grachten atau parit atau sungai buatan sesuai dengan suasana kota-kota di Belanda, terutama Amsterdam. Dengan makin pesatnya pembangunan Kota Batavia, kastil seluas 600 X 800 meter itu hanya menjadi bagian kecil dari Kota. Karena dikelilingi benteng, Batavia dikenal sebagai ‘kota berbenteng’.
Nama ‘kota’ yang melekat hingga sekarang untuk daerah ini, menurut arkeolog Husnison Nizar diambilkan dari sebutan ‘kota berbenteng’. Waktu itu, kawasan perdagangan Glodok yang berada di luar benteng merupakan daerah pedalaman. Tidak heran, kalau orang Belanda tidak berani mendatanginya karena banyak perampok dan binatang buas. Kawasan ini baru dibangun perumahan dan perkantoran pada abad ke-18.
Ketika menduduki Jayakarta, Coen sebenarnya ingin agar kota yang direbutnya itu dinamakan Nieuw Hoorn. Nama ini sama dengan nama sebuah kota di provinsi Noord Holland, tempat kelahirannya. Tapi, saat ia masih berada di Maluku, kota ini telanjur diberi nama Batavia. Berdasarkan cerita Alwi Shahab, sejarawan Jakarta, nama Batavia diberikan secara serampangan oleh seorang prajurit VOC yang mabuk saat pesta ‘gila-gilaan’ pada 12 Maret 1619.
Batavia berasal dari kata Batavieren, yakni bangsa Eropa yang jadi nenek moyang orang Belanda. Sedangkan nama Betawi ada yang menyebutkan sebagai kesalahan penyebutan nama Batavia.
Tapi versi lain menyebutkan, pada waktu tentara Mataram menyerang Batavia, tentara Belanda kehabisan peluru. Maka diisilah meriam-meriam dengan kotoran mereka. Lalu ditembakkan kearah tentara Mataram. Tersebarlah bau yang tidak enak. Tentara Mataram berteriak-teriak, “Mambo tai – mambo tai (bau tai -red).” Dari kata itulah konon berasal kata Betawi.
https://ift.tt/2XHxBEP
July 01, 2019 at 07:54AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2XHxBEP
via IFTTT
No comments:
Post a Comment