REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di masa lalu, Cirebon merupakan kota pantai yang sarat dengan aktivitas perdagangan. Letaknya pun strategis sehingga Cirebon juga menjadi kota pelabuhan alternatif terpenting di pantai utara Jawa setelah Jakarta dan Semarang.
Banyak kapal berlabuh di pelabuhan Cirebon untuk melakukan perniagaan atau sekedar singgah. Kapal-kapal tersebut berasal dari daerah lain di nusantara, Cina, Arab, Persia, dan lain sebagainya.
Peneliti manuskrip Nusantara, Mahrus menjelaskan, berdasarkan manuskrip-manuskrip Cirebon, diketahui kota ini sudah sejak dulu bersifat multikultural. Hal itu dimungkinkan karena Cirebon memiliki Pelabuhan Muara Jati yang kerap disinggahi orang-orang Cina, Arab, Persia, dan lainnya.
Karena lokasi Cirebon yang strategis, wilayah tersebut menjadi tempat bertemunya orang-orang dari beragam latar belakang, tak terkecuali orang-orang yang berperan penting dalam perkembangan agama Islam di wilayah tersebut.
Mengenai perkembangan Islam di wilayah Cirebon, hal itu tak lepas dari peran Pangeran Cakrabuana yang dikenal oleh masyarakat Jawa Barat bernama Ebah Kuwu Sangkan atau Pangeran Walang Sungsang.
Pangeran Cakrabuana bersama adiknya Rara Santang belajar Islam kepada Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nur Jati di Cirebon. Rara Santang adalah ibu dari Syekh Syarif Hidayatullah yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Sebelum era Wali Songo, Mahrus menerangkan, sebenarnya Islam sudah ada di beberapa daerah nusantara. Di tatar Sunda atau Jawa Barat juga sudah ada orang-orang yang memeluk agama Islam.
"Tapi, ada yang mengamalkan ajaran Islam dengan sembunyi-sembunyi, ada juga yang secara terang-terangan," kata Mahrus saat diwawancarai Republika di Bogor, belum lama ini.
Mahrus mengungkapkan, begitu Cirebon memerdekakan diri dari Kerajaan Sunda, orang-orang Islam mulai berkumpul dan menampakkan diri secara perlahan. Kemudian, Cirebon menjadi tempat kumpul dan tempat belajar agama Islam yang terbuka bagi siapa saja.
Berdasarkan manuskrip-manuskrip Cirebon, diperkirakan Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah multikultur sejak sebelum era Syekh Syarif Hidayatullah. Sebab, pada masa Syekh Syarif Hidayatullah, Cirebon sudah ramai sekali. Dalam sebuah manuskrip, pelabuhan Cirebon disebut sebagai bagian dari Jalur Sutra.
"Zaman Pangeran Cakrabuana, Cirebon sudah ramai, lebih ramai lagi pada zaman Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah), memang menurut saya puncak kejayaan Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati," ujar Mahrus.
Setelah Islam di Cirebon mencapai puncak kejayaannya pada masa Syekh Syarif Hidayatullah, selanjutnya Kesultanan Cirebon dan penyebaran Islam diteruskan oleh anak keturunan dan murid-murid Syekh Syarif Hidayatullah.
Murid dan anak Syekh Syarif Hidayatullah ada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Lampung. Bahkan, menurut Mahrus, ada ulama di Sulawesi yang mengaku berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah, tapi hal tersebut masih ditelusuri kebenarannya.
Masa kejayaan Kesultanan Cirebon di era Syekh Syarif Hidayatullah menyisakan sejumlah peninggalan. Di antaranya berupa bangunan masjid, keraton, dan pelabuhan Cirebon yang semakin ramai.
Menurut Mahrus, ada beberapa bangunan masjid yang dibangun pada masa Syekh Syarif Hidayatullah. Di antaranya Masjid Merah Panjunan dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Menurut salah seorang takmir masjid, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun sesudah Masjid Merah Panjunan, yaitu sekitar tahun 1480.
Setelah Syekh Syarif Hidayatullah menikah dengan Pakungwati, dimulailah pembangunan alun-alun dan istana yang terkenal dengan nama Istana Pakungwati. Di istana inilah, Syekh Syarif Hidayatullah dan Pakungwati bertempat tinggal.
Pusat Kesultanan Cirebon berada di Keraton Pakungwati sekarang berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan. "Di istana itulah Syekh Syarif Hidayatullah memulai, membangun, dan mengembangkan Kesultanan Cirebon sampai dengan pengunduran dirinya,'' kata Mahrus.
https://ift.tt/2Npz8eQ
July 02, 2019 at 07:07AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Npz8eQ
via IFTTT
No comments:
Post a Comment