REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan tuntutan hukuman maksimal terhadap Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang kembali terjerat suap jual beli jabatan. Tamzil merupakan residivis kasus korupsi saat menjabat Bupati Kudus periode 2003 - 2008.
"Ini sebenarnya sudah dibicarakan pada saat ekspos (kasus) karena kalau sudah berulang kali (korupsi) bisa nanti tuntutannya sampai dengan hukuman mati," ujar Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Kuningan, Sabtu (27/7).
KPK telah menetapkan M Tamzil, staf khusus Bupati Kudus Agus Soeranto, dan pelaksana tugas Sekretaris Dinas Badan PPKAD Kudus Akhmad Sofyan sebagai tersangka dugaan suap jual beli jabatan di Pemkab Kudus. Ketiganya ditangkap KPK pada Jumat (26/7).
M Tamzil dan Agus Soeranto sebelumnya pernah bekerja bersama di Pemprov Jateng. Saat menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008, M Tamzil terbukti melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan dan divonis 1 tahun 10 bulan penjara.
Saat M Tamzil menjalani hukuman di Lapas Kedungpane Semarang, ia kembali bertemu dengan Agus yang dipenjara dalam kasus yang berbeda. Tamzil kemudian mendapat pembebasan bersyarat pada Desember 2015.
Setelah bebas, M Tamzil berlaga di Pilkada 2018 dan kembali mendapatkan jabatan Bupati Kudus. Tamzil kemudian mengangkat Agus sebagai staf khusus Bupati.
Basaria mengatakan, Tamzil dkk diduga terlibat suap jual pengisian jabatan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP), dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Kudus.
Diduga, Tamzil meminta Agus mencarikan uang Rp 250 juta untuk pembayaran mobil Terrano miliknya. Agus lalu berkoordinasi dengan ajudan Bupati Uka Wisnu Sejati terkait siapa yang akan dimintai uang. Uka kemudian menemui Sekdis Badan PPKAD Akhmad Sofyan yang pernah meminta agar membantu kariernya. Ahmad Sofyan memberikan uang tersebut pada Kamis (26/7), sehari sebelum OTT KPK.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz setuju Tamzil mendapat hukuman lebih berat. "Residivis dapat dijatuhi hukuman maksimal sampai dengan hukuman mati. Itu dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Tipikor," kata Donal.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan, bila merujuk pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, Tamzil bisa diancam pidana mati karena diduga mengulangi tindak pidana korupsi, yakni sebelumnya dia pernah dihukum untuk tuduhan korupsi.
"Dalam praktik hukum di Indonesia, belum pernah ada koruptor yang dihukum mati. Pidana bagi yang dijatuhkan kepada koruptor masih jauh dari rasa keadilan masyarakat," kata Dadang.
Tamzil sendiri tidak terlalu terkejut dengan ancaman tuntutan mati tersebut. Ditemui seusai penetapan tersangka di gedung KPK, Sabtu (27/7), Tamzil mengaku akan mengikuti prosedur hukum yang ada. "Ya saya akan mengikuti proses hukum yang ada. Dan ada bantuan hukum dari pengacara," kata Tamzil.
Tamzil juga mengelak adanya penerimaan Rp 250 juta untuk membayar cicilan mobilnya. Menurut dia, dana tersebut diterima Agus. "Yang jelas dana itu tidak ada di saya. (Cicilan mobil) itu stafsus saya, saya enggak perintah," kata dia.
Ia juga menegaskan, perkara korupsi yang sebelumnya menjeratnya tidak menyebabkan kerugian negara. Saat itu, kata dia, ia hanya salah dalam prosedur.
Pengawasan
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Bahtiar, mengatakan, Kemendagri menyayangkan masih adanya kepala daerah yang tertangkap KPK. “Memalukan masih ada saja kepala daerah yang terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan), apalagi kasus jual beli jabatan,” kata Bahtiar dikutip dari laman setkab, Ahad (28/7).
Ia mengklaim, selalu mengingatkan kepala daerah agar menghindari area rawan korupsi. Kenyataannya, penangkapan terhadap terhadap kepala daerah terus terjadi. “Kita sering ingatkan, apalagi Pak Menteri gencar mengingatkan agar kepala daerah menjauhi area rawan korupsi, bahkan kalau gubernur setiap baru dilantik selalu kita bawa ke KPK, sebagai pengingat jangan sampai berkasus di KPK,” kata dia.
Area rawan korupsi, kata dia, antara lain perencanaan anggaran, dana hibah dan bansos, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, dan menyangkut jual beli jabatan. Tak hanya itu, Koordinasi dan Supervisi Bidang Pencegahan (Korsupgah) KPK di tingkat daerah juga telah dioptimalkan.
“Kita sering ingatkan untuk jauhi area rawan korupsi, pencegah juga melalui Korsupgah di daerah juga ada, tinggal tergantung integritas masing-masing,” ujar Bahtiar.
Pengamat politik dari Universitas al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai, faktor utama yang menyebabkan maraknya kepala daerah melakukan korupsi adalah biaya politik yang mahal. Kepala daerah berusahan keras mengembalikan uang yang dipakai saat berlaga di Pilkada.
Faktor selanjutnya adalah internal pelaku, yaitu adanya sifat tamak atau rakus. “Faktor kedua adalah tamak, gaya hidup yang tinggi, merasa ingin dihormati dan dihargai. Setiap datang ke masyarakat inginnya memberi terus. Inilah yang membuat mereka mencari uang dengan cara yang tidak pantas,” kata dia.
Untuk mencegahnya, berbagai pihak perlu meningkatkan pengawasan. Utamanya, KPK perlu melipat gandakan penindakan terhadap pelaku korupsi.
(dessy suciati saputri/umi soliha ed: ilham tirta)
https://ift.tt/2Kf21FU
July 29, 2019 at 07:57AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Kf21FU
via IFTTT
No comments:
Post a Comment