REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menargetkan pertumbuhan nasabah Layanan Keuangan Tanpa Kantor untuk Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Tahun ini, OJK memasang target 75 persen atau sekitar 52,6 juta rekening laku pandai.
Laku pandai merupakan keuangan inklusi yang menyasar masyarakat kurang mampu. Menurut Bank Dunia pada 2018, keuangan inklusif adalah setiap individu atau pelaku bisnis mempunyai akses ke produk dan layanan keuangan yang terjangkau dan bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan, seperti transaksi pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi.
“Masyarakat harus bisa akses ke situ,” kata Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Mohammad Miftah di Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim), beberapa waktu lalu.
Inklusi keuangan mengindikansikan semua kalangan masyarakat punya rekening perbankan. Menurut bank Dunia, Indonesia mengalami kemajuan pesat dalam meningkatkan indeks inklusi keuangan. Indeks keuangan meningkat dari 19,6 persen pada 2011 menjadi 49 persen pada 2017. Kemudian, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusi f (SNKI), pemerintah menetapkan target inklusi keuangan sebesar 75 persen pada 2019.
Indonesia tertinggal dalam tingkat kepemilikan rekening dari Asia Selatan pada 2013. Pada tahun itu, tingkat kepemilikan rekening di Asia Selatan sudah mencapai 70 persen, sementra Indonesia masih 49 persen. Kemudian, seluruh pihak melakukan perbandingan antardaerah untuk melihat adanya kemungkinan underbanked atau kekurangan bank. Underbanked adalah suatu daerah yang memiliki pertumbuhan tinggi, tetapi faktor kepemilikan rekening masih rendah. Daerah yang masuk kategori underbanked, misalnya Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, wilayah Indonesia timur, dan Papua.
“Karena pertumbuhan tinggi, tapi tak ada rekening cukup, sehingga perlu adanya upaya meningkatkan jangkauan ke seluruh Indonesia. Itu jadi alasan kita, program inisiatif laku pandai kita lakukan,” ujar Miftah.
Hal itu juga disebabkan sejumlah kondisi masyarakat sendiri, seperti tidak ada bank di dekat tempat tinggal, jarak bank yang jauh, pelayanan bank yang tidak cocok, dan tidak mengerti jasa bank. Karena mayarakat masih banyak yang bertransaksi menggunakan uang tunai, kondisi itu membuat mereka lebih senang menyimpan uang sendiri atau dibelikan barang.
Pemerintah memiliki strategi keuangan inklusif, salah satunya program strategis keuangan inkusif. Program itu menargetkan kenaikan keuangan inklusif dari 36 persen menjadi 75 persen.
“Target 75 persen membutuhkan 52,6 juta rekening baru. Itu cukup berat, teman di lapangan mulai mendorong dengan simpel, mudah,” kata dia.
Hingga kuartal I 2019 data Impelementasi Program Laku Pandai OJK, terdapat 1.123.098 agen laku pandai, perinciannya sebanyak 65 persen di Jawa dan 35 persen di luar Jawa. Perbedaan persentase itu disebabkan oleh sejumlah hal, seperti, bank harus melakukan pendidikan dan pengawasan, sementara akses menuju lokasi terkendala infrastruktur, serta belum ada dukungan teknologi informasi dan komunikasi.
Masih berdasarkan data yang sama, saat ini terdapat rekening BSA berjumlah 24.226.083 dengan saldo sebesar Rp 2,49 triliun. Sementara itu, kredit yang disalurkan agen belum menggembirakan, baru sebesar Rp 49,07 miiar.
“Karena untuk bisa meberi kredit harus dinilai, tingkat keberhasilan rendah, sementara kita masih fokus ke pembukaan rekening BSA,” kata Miftah.
Saat ini, terdapat 30 bank penyelenggara Laku Pandai, perinciannya sebanyak 26 bank konvensional dan empat bank syariah. Dari 514 kabupaten/kota, bank-bank tersebut sudah ada di 510 kabupaten/kota.
https://ift.tt/30ZC2J4
July 31, 2019 at 08:16AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/30ZC2J4
via IFTTT
No comments:
Post a Comment