REPUBLIKA.CO.ID, Puncak prosesi ibadah haji tahun ini telah terlewati. Pada Sabtu (10/8), sebanyak 231 ribu jamaah haji Indonesia bersama jutaan jamaah dari negara lain berwukuf di Arafah, menuntaskan pelaksanaan ibadah haji.
Lalu, apa selanjutnya? Para haji ini diharapkan kelak menjadi bagian bahkan lokomotif gerakan perubahan lebih baik di tengah masyarakatnya, minimal di lingkungan kecil mereka hingga ke lingkaran sosial yang lebih besar.
Niat kuat berperilaku lebih baik dan memiliki kepedulian sosial lebih tinggi menjadi modal bagi mereka selepas menunaikan haji. Wakil Amirul Haji Indonesia KH Bunyamin Ruhiyat menyinggung soal sikap itu sebagai tanda kemabruran haji dalam khutbah wukufnya.
Ia menggambarkan dialog Rasulullah dengan sahabatnya. Rasulullah ditanya mengenai tanda mabrurnya haji, kemudian dijawab bahwa ada dua hal yang menandai kembabruran haji seseorang.
Tanda pertama adalah memberi makan orang miskin sebagai simbol kepedulian. Yang kedua adalah menebar salam yang merupakan simbol kedamaian. Karena itu, menurut Kiai Bunyamin, wujudkanlah kepedulian sosial dan tebarkanlah kedamaian di tengah masyarakat sebagai pertanda kemabruran haji.
Maka, jika 231 ribu haji Indonesia ini langsung menerapkannya sekembalinya dari Tanah Suci, dampaknya akan sangat besar. Mereka memperbaiki perilaku dalam hubungan dengan keluarganya, tetangga, dan masyarakat sekitarnya.
Harmoni bakal tercipta di tengah masyarakat. Tak ada prasangka dan niatan jahat tersisa yang membuat ketenteraman sosial terganggu bahkan lenyap begitu saja. Hal lain yang juga penting adalah kepedulian terhadap sesama.
Dengan harta dan tenaga, kepedulian sosial yang meningkat kelak mampu mengubah wajah masyarakat ke arah lebih baik. Dengan hartanya, para haji ini tergerak mengulurkan tangan membantu mereka yang papa, baik melalui zakat, infak, maupun sedekah.
Harta yang berlebih bisa mereka salurkan melalui lembaga maupun badan amil zakat, membantu memutar roda program pemberdayaan fakir miskin yang mereka buat. Dari sinilah kondisi perekonomian rakyat miskin berpotensi berubah drastis.
Mereka yang semula miskin dan tak memiliki akses ekonomi dapat diberdayakan dalam wujud pendampingan usaha atau bentuk lainnya hingga akhirnya berdaya secara ekonomi. Lambat laun mereka mengubah statusnya dari mustahik menjadi muzaki.
Dana zakat, infak, dan sedekah juga bisa bergulir melalui program-program pendidikan gratis bagi dhuafa. Sebagai contoh, menyambungkan anak-anak usia sekolah yang dhuafa dengan akses pendidikan, memberi kesempatan kepada mereka meraih masa depan lebih baik.
Di Tanah Air, masyarakat yang tak berhaji menjalankan dan mempertajam kepedulian dengan berkurban. Mereka menyisihkan hartanya untuk membeli hewan kurban yang disalurkan lewat lembaga dan badan amil zakat atau masjid di sekitar mereka.
Berkuban, selain jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga merupakan salah satu bentuk berbagi, yang tak lain manifestasi kepedulian kita terhadap orang lain. Langkah-langkah tersebut merupakan kebaikan dan melahirkan manfaat bagi orang lain.
Pada akhirnya, ini bisa mengantarkan para haji yang mabrur dan pekurban menjadi manusia yang baik. Seperti yang dinyatakan cendekiawan Muslim, Didin Hafidhuddin, yang menukil sabda Rasulullah bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.
https://ift.tt/2MXj027
August 12, 2019 at 08:03AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2MXj027
via IFTTT
No comments:
Post a Comment