REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sriwijaya Air Group menunggak utang senilai Rp 800 miliar kepada PT Garuda Maintenance Facilities Aero Asia untuk perawatan pesawat. Direktur Operasi Sriwjaya Air Captain Fadjar Semiarto dalam konferensi pers di Jakarta menjelaskan, banyaknya utang yang menunggak juga menjadi alasan pemutusan kerja sama dengan anak usaha Garuda Indonesia itu.
“Ya karena outstanding, tunggakannya besar, walaupun sudah dicicil juga tidak bisa dimitigasi, jumlahnya Rp 800 miliar, berpotensi macet,” katanya di Jakarta, Senin (30/9).
Ia menambahkan, kondisi perusahaan pun sudah berada dalam rapor merah, yaitu dengan Hazard, Identification, dan Risk Assessment sudah berstatus merah 4A. Sementara, tingkat paling parah adalah 5A.
Kondisi tersebut, menurut Fadjar, sudah tidak memungkinkan bagi sebuah maskapai untuk meneruskan operasional penerbangan. Untuk itu, pihaknya mengajukan surat rekomendasi untuk menghentikan sementara operasional Sriwijaya Air Group hingga kondisi sudah kembali memungkinkan, terutama kondisi finansial perusahaan.
“Dari kondisi finansial yang saat ini sedang berefek kepada hampir semua aspek, baik dari sisi operasi, sisi komersial, dan sisi teknis, kemudian sumber daya manusia dan paling berat finansial,” katanya.
Karena itu, ia menambahkan, operasional terganggu, salah satunya banyaknya keterlambatan penerbangan yang menyebabkan membengkaknya biaya layanan sebagai kompensasi. “Dana service recovery dalam sehari itu bisa Rp 1 miliar untuk penerbangan, selama belum dikatakan cancel sesuai dengan PM 78 kita wajib menyediakan makanan ringan dan lainnya,” katanya.
Fadjar pun mengumumkan secara resmi mengundurkan diri dari jabatannya bersama Direktur Teknik Sriwijaya Air Ramdani Ardali Adang. Fadjar mengatakan, rekomendasi tersebut telah disampaikannya kepada pihak direksi untuk tidak melanjutkan operasional penerbangan. Namun, dia mengaku rekomendasi itu tidak direspons dan perusahaan tetap menjalankan operasional.
Selain karena alasan tersebut, pengunduran diri Fadjar dan Ramdani disebabkan adanya dualisme kepemimpinan di Sriwijaya. “Dari sisi kru, ada dualisme kepemimpinan. Untuk diketahui ada dua direktur utama yang dinyatakan dalam akta dan satu di dalam. Ini membuat saya susah berkoordinasi,” ungkap Fadjar.
Dalam kesempatan sama Direktur Teknik Ramdani Ardali Adang mengaku khawatir sejak putus kontrak dengan GMF karena perawatan pesawat tidak terjamin. “Saya terus terang sejak putus dengan GMF sampai saat ini khawatir karena status cukup merah,” katanya.
Sementara itu, Direktur Quality Safety and Security Sriwijaya Air Toto Soebandoro memastikan saat ini operasional NAM Air dan Sriwijaya Air dalam pengawasan Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan (Kemenhub). “Sriwijaya Air dan NAM Air kini dapat menjalankan seluruh kegiatan operasional secara normal,” kata Toto, Senin (30/9).
Terkait pemberitaan yang menyebutkan Sriwijaya Air setop operasi, Toto menegaskan, surat rekomendasi tersebut merupakan masukan yang bersifat internal. Dia menuturkan, surat tersebut disampaikan kepada seluruh jajaran manajemen Sriwijaya Air dan NAM Air dengan maksud menghindari berhentinya operasional maskapai.
“Ini murni masukan yang hendak saya sampaikan dalam rapat manajemen terkait temuan dan kondisi beberapa waktu yang lalu dan sifatnya kondisional saja,” tutur Toto.
Meskipun begitu, Toto yakin Sriwijaya Air dan NAM Air sudah bisa mengatasi permasalahan yang ada. “Kini, semua sudah dapat diatasi dan Sriwijaya Air dan NAM Air dipastikan masih mengudara di bawah pengawasan DKPPU Kemenhub,” ungkap Toto.
Pengamat penerbangan sekaligus Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra Arifin menilai, kondisi Sriwijaya Air saat ini merupakan perkembangan dari kondisi yang sudah ada dan diketahui oleh publik sejak akhir tahun lalu. Dia menyarankan, manajemen Sriwijaya Air bisa menelaah kembali posisi keuntungan, kerugian, dan pendapatannya saat ini.
“Pertanyaannya, mau diposisikan bagaimana dan untuk melayani segmen pasar atau rute mana? Apakah bisa menutup cost per seat mile untuk setiap unit?” ungkap Ziva.
Sementara itu, Ziva menilai, kerja sama manajemen (KSM) Sriwijaya Air Group dengan Garuda Indonesia Group yang berjalan sejak awal 2019 tidak berhasil meningkatkan kinerja maskapai. Ketidakberhasilan tersebut baik secara struktural maupun operasional.
Tak hanya itu, Ziva menilai, terdapat beberapa kondisi eksternal yang turut memengaruhi. “Misalnya, meningkatnya harga tiket yang bukan menjadi mahal, namun menyesuaikan dengan biaya riil menyebabkan menurunnya minat pangsa pasar,” ujar Ziva. n rahayu subekti, ed: ahmad fikri noor
https://ift.tt/2o39ksu
October 01, 2019 at 08:01AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2o39ksu
via IFTTT
No comments:
Post a Comment