Pages

Monday, October 7, 2019

Bawaslu tak Setuju Larangan Napi Zina Ikut Pilkada

Larangan tak disertai parameter jelas, berpotensi timbulkan ketidakpastian hukum.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengaku tidak setuju jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang narapidana kasus asusila mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Larangan yang tercantum dalam revisi PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang pencalonan kepala daerah ini dinilai rawan disalahartikan.

Menurut Bagja, larangan itu tidak disertai parameter yang jelas, sehingga berpotensi menimbulkan kondisi ketidakpastian hukum. “Kalau parameternya tidak jelas, maka jangan diatur. Nanti jadi masalah lagi,” ujar Bagja di Jakarta, Senin (7/10).

Bagja menyayangkan tak ada definisi jelas soal zina sebagai tindak pidana asusila di dalam aturan tersebut sebagaimana yang diatur di KUHP. Dalam KUHP sendiri, kata Bagja, zina diatur sebagai hubungan suami istri yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah dengan bukan pasangan sahnya.

Dia menilai, kondisi ini berpotensi untuk disalahpahami oleh jajaran penyelenggara pemilu di daerah. Bagja mengaku khawatir pasal di PKPU ini nantinya bisa dibuat pelaporan hanya dengan dasar pengakuan seseorang.

Selain itu, ada potensi ketidakadilan dalam menerapkan aturan. Sebab, di bagian lain PKPU tersebut diatur mantan narapidana boleh mencalonkan diri, kecuali napi narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.

“Kalau ada yang tobat bagaimana? Misalnya ada yang nggak mau mabok lagi, nggak mau zina lagi, itu bagaimana? Wong mantan narapidana saja bisa nyalon. Saya bilang ke teman-teman KPU, tolong buat parameter yang jelas,” lanjut Bagja.

Sebelumnya, KPU melarang orang yang pernah melakukan perbuatan tercela mencalonkan diri di Pilkada 2020. Dalam Pasal 4 poin j angka 1 hingga 5 perbuatan tercela dirincikan sebagai judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkoba, zina, dan perbuatan kesusilaan lainnya.

Sementara dalam Pasal 42 ayat (1) huruf h, calon kepala daerah harus membuktikan diri mereka tak melakukan hal-hal itu dengan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dari polisi. Calon gubernur dan wakil gubernur harus meminta SKCK ke Polda. Sementara calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota harus mendapat SKCK dari polres. n dian erika nugraheny, ed: mas alamil huda

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2MqaEhG
October 08, 2019 at 07:58AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2MqaEhG
via IFTTT

No comments:

Post a Comment