Pages

Thursday, March 21, 2019

Cerita Guru Besar UIN Malang yang Merasa Dicurangi Kemenag

Penentu jabatan rektor menjadi hak penuh dari Menteri Agama.

REPUBLIKA.CO.ID, Pembahasan penangkapan Ketua Umum (Ketum) PPP, Romahurmuziy atas kasus jual-beli jabatan, terus bergulir hingga kini. Isu tersebut merambah hingga dunia kampus seperti di UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang. 

Guru Besar (Gubes) Uin Maliki, Profesor Mudjia Rahardjo mengaku, menjadi salah satu korban atas ketidaktransparananya proses pengangkatan rektor di Kementerian Agama (Kemenag) 2017 lalu. Rektor UIN Maliki Periode 2013 hingga 2017 ini, merasa dicurangi atas sistem yang berlaku di Indonesia. 

Mudjia yang semula mendapatkan rekomendasi terbesar dari senat ini justru harus terhadang sebelum pelantikan terjadi. Mengenai kasus ini, Mudjia sebenarnya sudah tidak mau membahas kembali mengingat hal tersebut telah berlalu. Dia sudah menikmati karirnya sebagai dosen biasa di Fakultas Humaniora, UIN Maliki. 

"Saya juga sudah menikmati kegiatan saya sebagai profesor, ngajar, nguji, dan ngasih bimbingan," jelas Mudjia saat ditemui Republika.co.id, di kediamannya, Sigura-gura, Kota Malang, Rabu sore (20/3).

Meski sudah tak lagi memikirkannya, isu jual-beli jabatan justru semakin ramai hingga saat ini. Terlebih lagi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap Romahurmuziy. Kasus ini kemudian dikaitkan dengan hal lain seperti masalah proses pengangkatan dan pemberhentian jabatan rektor di Kemenag.

Mudjia tahu penentu jabatan rektor menjadi hak penuh dari Menteri Agama (Menag) berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015. Menag memiliki kekuasan untuk mengangkat dan memberhentikan jabatan rektor. 

"Kita semua terima tapi hanya saja persoalannya nggak semau-maunya juga. Ada rambu-rambu yang harus diperhatikan, di kampus itu ada senat universitas," jelas Mudjia.

Mudjia mengklaim, mayoritas senat saat itu lebih merekomendasikan dirinya maju sebagai rektor dibandingkan lainnya. Karena pesaingnya berasal dari luar, penilaian para senat pun lebih mengarah kepada dirinya. Mereka tahu bagaimana kinerja dan kepemimpinannya selama memegang UIN Maliki dari 2013 hingga 2017.

Keyakinan terpilihnya dia sebagai rektor tak hanya berhenti di suara senat. Para anggota Pansel Pemilihan Rektor di Jakarta pun telah memastikan posisi tersebut untuk dirinya. Namun semua harapan itu musnah kala pelantikan rektor terlaksana.

"Ini yang jadi pertanyaan banyak orang. Kenapa dunia akademis yang biasa berpikir secara rasional bisa terjadi hal yang tidak rasional? Ini bahaya sekali hal semacam ini terus berlanjut. Nggak bisa memberikan pendidikan baik," tambah dia.

Mudjia menegaskan, pengakuannya ini bukan karena kekecewaannya atas jabatan yang tak mampu diraihnya kembali. Namun lebih kepada sistem dan proses pemilihan rektor yang perlu diperbaiki. PMA 68 Tahun 2015 sebaiknya ditinjau ulang karena lebih banyak mudharatnya.

"Karena senat universitas seakan nggak berdaya, padahal mereka para profesor, orang terdidik dan sangat senior. Mereka seakan nggak ada artinya. Yang menang dikalahkan, yang kalah dimenangkan," ujar dia.

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2UJnzhz
March 21, 2019 at 02:40PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2UJnzhz
via IFTTT

No comments:

Post a Comment