REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejarah mencatat, ketika Inggris menduduki Singapura pada 1819, sudah ada beberapa komunitas Arab di sana. Kala itu, Sir Thomas Stamford Raffles yang juga merupakan perancang Singapura modern ingin membuat lebih banyak orang mau datang ke Singapura. Hal itu karena dia berambisi menjadikan Singapura sebagai pusat perdagangan regional.
Pada masa itu masyarakat Arab banyak tinggal di lingkungan nelayan, yang disebut masyarakat Melayu sebagai Kampong Glam. Kampong berarti desa, sedangkan glam merupakan nama salah satu pohon lokal yang banyak tumbuh di sana.
"Para sejarahwan yang pernah menulis tentang Singapura memberikan kesan bahwa Raffles menyukai orang-orang Arab," kata sejarawan sekaligus guru besar sosiologi di National University of Singapore, Syed Farid Alatas.
Padahal sejatinya, lanjut Alatas, Raffles tidak menyukai orang Arab. Raffles justru selalu mengatakan hal-hal buruk tentang masyarakat Arab. Namun, pada saat yang sa ma dia melihat orang-orang Arab bisa meng hidupkan iklim usaha di Singapura.
"Dia (Raffles) ingin membuat jaringan perdagangan dan orang-orang Arab sudah dikenal memiliki jaringan perdagangan yang baik. Karena itu, Raffles menganggap orangorang Arab ini berguna,'' kata dia.
"Maka, dia memfasilitasi orang-orang Arab datang ke Singapura,'' sambung Alatas.
Di Negeri Singa, salah satu bangunan paling ikonis adalah Raffles Hotel yang dibangun di atas tanah milik Syed Mohammed Alsagaff pada 1887. Dulu tanah itu merupakan tanah sewaan karena memang penyewaan properti adalah bisnis terbesar orang Arab dari zaman dahulu hingga 1950-an. Belakangan keadaan berubah, terutama ketika pemerintah mengesahkan kebijakan yang sebenarnya masih dianggap abu-abu di masyarakat.
Sebagian besar properti masyarakat Arab disimpan secara tradisional dalam bentuk wakaf. Namun, di bawah Rent Control Act, se buah aturan yang dibuat pada 1947, pemerintah melarang masyarakat Arab menaikkan harga sewa.
Pukulan telak kepada masyarakat Arab datang lagi pada 1967 ketika disahkan Undang-Undang Pengadaan Tanah. Saat itu, Pemerintah Singapura mulai mencari cara untuk mentransformasi negara ini menjadi pusat bisnis global. Namun, rencana itu terkendala karena pemerintah kekurangan lahan untuk pengembangan kota.
Maka, berbekal aturan itu, pemerintah dapat membeli properti apa pun dengan harga berapa pun untuk pengembangan kota. Akibat aturan ini, masyarakat keturunan Arab yang memiliki banyak real estate di te ngah kota Singapura terpaksa menyerahkan properti mereka ke pemerintah dengan harga jauh dari di bawah normal.
Hanya satu properti penting milik keluarga Arab yang masih tersisa di pinggiran Singapura, yakni The Treetops Executive Residence. Ini kompleks apartemen mewah yang pernah ditinggali keluarga Talib.
https://ift.tt/2OiGQ7v
March 18, 2019 at 04:00PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2OiGQ7v
via IFTTT
No comments:
Post a Comment