Pages

Monday, April 1, 2019

Keteladanan Mohammad Natsir untuk Politikus Kini

Mantan sekretaris pribadi Natsir menuturkan kisah keteladanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mohammad Natsir merupakan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya itu, dia juga seorang ulama besar serta politikus yang memperjuangkan aspirasi dan ukhuwah umat Islam. Sebagai politikus Masyumi, beberapa bulan setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda dia menggores sejarah penting.

Tokoh Persatuan Islam (Persis) itu menggencarkan dialog dengan para pimpinan negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS). Untuk diketahui, sebelum pengakuan kedaulatan 1949, tokoh Belanda van Mook mendorong terbentuknya negara-negara bagian di Indonesia, untuk melemahkan persatuan Indonesia.

Pada akhirnya, para pimpinan itu pun menerima ajakan Natsir untuk meleburkan negara-bagiannya masing-masing ke dalam Republik Indonesia (RI). Pada 3 April 1950, Mosi Intergral Natsir disahkan, sehingga pulihlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jelang peringatan Mosi Integral Natsir, mantan sekretaris pribadi almarhum menuturkan pendapatnya. Lukman Hakiem--demikian namanya--menilai,  kesederhanaan dan kejujuran Natsir dapat menjadi teladan bagi para politikus zaman sekarang.

Sebagai contoh, saat turun dari kursi perdana menteri, Natsir diharuskan pindah dari rumah jabatan di bilangan Jalan Pegangsaan, Jakarta. Namun, tokoh kelahiran Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, itu hanya menenteng satu koper.

"Ketika beliau (Natsir) berhenti sebagai perdana menteri, hari itu juga beliau keluar dari rumah jabatan dengan hanya membawa satu koper, tidak bawa yang lain-lain," kata Lukman Hakiem kepada Republika usai acara "Sarasehan Peran Umat Islam dalam Mempelopori, Mendirikan, Mengawal dan Membela NKRI" di kantor MUI Pusat, Jakarta, Senin (1/4).

Ia meneruskan, Natsir juga langsung menyerahkan mobil dinasnya kepada negara usai turun jabatan. Padahal, sebenarnya masih ada jangka waktu baginya menggunakan segala fasilitas yang disediakan negara. Sebab, negara saat itu masih dalam proses memilih perdana menteri baru.

Namun, kenang Lukman Hakiem, Natsir menegaskan tugasnya sudah selesai. Karena itu, pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tersebut meninggalkan rumah jabatan tadi dan segala fasilitas yang diberikan negara untuknya.

"Beliau langsung meninggalkan mobilnya, lalu beliau pulang dengan menumpang naik sepeda milik supirnya, itu kesederhanaan dan kejujuran beliau," ujarnya.

Lukman menyampaikan, Natsir bisa berbeda pendapat secara tajam dengan siapapun, tapi tidak pernah bermusuhan. Sebagai contohnya, Masyumi dan PKI yang secara ideologis berbeda. Di dalam forum, Natsir dan DN Aidit berdebat dengan keras.

Tapi setelah debat di dalam forum, mereka berdua biasa ngopi bareng. Natsir berpandangan yang diperdebatkan di dalam forum adalah urusan negara, bukan urusan pribadi. Karakter seperti itu yang menurut mantan Sekretaris Mohammad Natsir bisa diteladani oleh politisi zaman sekarang.

Lukman juga menegaskan, Masyumi sebagai partai Islam, tidak ada tokohnya yang tersangkut kasus korupsi. Tokoh-tokohnya menjaga nama baik Islam. Tokoh Masyumi tidak ingin Islam di Masyumi hanya menjadi kembang bibir saja.

Usai acara sarasehan tersebut, untuk menghormati peran umat Islam dalam proses pembentukan NKRI maka MUI akan membahas peringatan Hari NKRI yang nanti diajukan ke pemerintah. Sementara, Ketua Umum ICMI, Prof Jimly Ashiddiqie juga berpandangan, 3 April 1950 saat Mohammad Natsir mengajukan Mosi Integral ke parlemen, pantas untuk diperingati.

Menurut Prof Jimy, 3 April 1950 sama pentingnya seperti peristiwa-peristiwa sejarah yang sudah ditetapkan dan diresmikan sebagai hari nasional. Maka 3 April juga harus menjadi hari nasional atau Hari NKRI.

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2I4KAbt
April 01, 2019 at 06:47PM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2I4KAbt
via IFTTT

No comments:

Post a Comment