REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Erupsi Gunung Tangkuban Parahu yang berada di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada Jumat (26/7) dinilai satu rangkaian dengan aktivitas gunung-gunung berapi lainnya di Pulau Jawa. Sejauh ini, sebanyak 19 gunung berapi berstatus aktif di pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia itu.
"Masih ada sekitar 127 gunung aktif di Indonesia mengacu data dari PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi). Sedangkan, di (Pulau) Jawa ada sekitar 19 gunung," ujar pakar geologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Wahyu Wilopo, saat dihubungi Republika, Ahad (28/7).
Di antara gunung-gunung tersebut adalah Gunung Merapi (2.930 meter di atas permukaan laut/mdpl) di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Gunung Tangkuban Parahu (2.084 mdpl) di Kabupaten Bandung Barat dan Subang, serta Gunung Slamet (3.428 mdpl) yang terapit lima kabupaten, yakni Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Tegal, dan Pemalang.
Selain itu, ada Gunung Ciremai (3.078 mdpl) di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Gunung Lamongan (1.651 mdpl) di Kabupaten Lumajang dan Probolinggo, Gunung Lurus (539 mdpl) di jajaran Pegunungan Iyang, Gunung Arjuno (3.339 mdpl) di perbatasan Kabupaten Malang dan Pasuruan, Gunung Welirang (3.156 mdpl) di Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan, dan Gunung Baluran (1.247 mdpl) di Kabupaten Situbondo.
Lalu, ada Gunung Raung (3.332 mdpl) di Kabupaten Banyuwangi-Bondowoso-Jember, Gunung Kawi (2.551 mdpl) di Kabupaten Malang, Gunung Butak (2.868 mdpl) di perbatasan Kabupaten Malang dan Blitar, Gunung Argopuro (3.088 mdpl) di Kabupaten Bondowoso, Gunung Penanggungan (1.653 mdpl) di perbatasan Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan, Gunung Ijen (2.779 mdpl) di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, Gunung Kelud (1.731 mdpl) di wilayah Kabupaten Kediri-Blitar-Malang, Gunung Semeru (3.676 mdpl) di Kabupaten Malang dan Lumajang, serta Gunung Bromo (2.329 mdpl).
Wahyu Wilopo menjelaskan, erupsi yang terjadi di Gunung Tangkuban Parahu merupakan letusan freatik alias letusan dangkal. Tanda-tanda letusan freatik memang sulit dideteksi. Wahyu mengatakan, letusan freatik terjadi karena uap magma yang berinteraksi dengan sistem hidrothermal. Kejadian tersebut pernah terjadi pada 30 April 2017 di Dataran Tinggi Dieng yang merupakan kawasan vulkanis aktif di Jawa Tengah.
Gunung Merapi di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta juga mengalami hal serupa pada 21 Mei 2018. Dia menjelaskan, tipe erupsi gunung umumnya memiliki dua jenis. "Tipe gunung api itu umumnya ada dua (letusan), yaitu eksplosif dan efusif," kata dia.
Letusan efusif, Wahyu menjelaskan, merupakan magma bersifat masam yang hanya mengalir. Itu pernah terjadi di Gunung Merapi pada Oktober 2010. Namun, letusan yang berbahaya adalah tipe eksplosif yang meluapkan magma dengan tekanan gas kuat hingga memicu ledakan dan letusan yang dahsyat.
"Biasanya yang kita takuti itu adalah gunung yang sudah lama tidak beraktivitas. Dia (gunung) menyimpan energi yang besar tapi tidak pernah terkeluarkan, misalnya Sinabung. Kalau meletus, dahsyat," ungkapnya.
Selain itu, Wahyu menambahkan, gunung yang paling ditakuti yakni gunung yang terletak di lautan, seperti Gunung Anak Krakatau. \"Krakatau kenapa yang paling berbahaya? Karena lokasinya adalah di laut. Itu menimbulkan dampak tsunami,\" ungkapnya.
Sepanjang bulan ini, aktivitas sejumlah gunung berapi di Pulau Jawa memang meningkat. Pada 24 Juli lalu, Gunung Merapi mengeluarkan satu kali awan panas guguran dengan jarak luncur 1.000 meter ke arah hulu Kali Gendol.
Pihak Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) telah mempertahankan status Gunung Merapi pada level II atau Waspada dan untuk sementara tidak merekomendasikan kegiatan pendakian. Aktivitas Merapi mulai meningkat secara signifikan sejak Juni lalu.
Gunung Semeru juga menunjukkan aktivitas kegempaan letusan dan embusan pada periode pengamatan 19 Juli lalu. Saat itu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang mencatat terjadi aktivitas kegempaan letusan sebanyak 19 kali dengan amplitudo 11-22 milimeter dan durasi 40-140 detik.
Pada 19 Juli, Gunung Bromo juga mengeluarkan letusan pada pukul 16.37 WIB disertai lahar dingin. PVMBG menyatakan, tinggi kolom abu tidak teramati dan erupsi tersebut terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 37 mm dan durasi kurang lebih 7 menit 14 detik. Erupsi tersebut terjadi setelah sebelumnya aktivitas Gunung Bromo tercatat meningkat.
Sedangkan, Gunung Tangkuban Parahu mengeluarkan letusan pada 26 Juli, pukul 15.48 WIB, dengan tinggi kolom abu sekitar 200 meter di atas puncak atau 2.284 mdpl. PVMBG mengungkapkan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan pemerintah setempat soal potensi erupsi tersebut sebelumnya.
Kepala Bagian Tata Usaha PVMBG Gede Suantika mengatakan, aktivitas permukaan Gunung Tangkuban Parahu sudah mulai meningkat sebulan belakangan. Aktivitasnya didominasi embusan asap dari Kawah Ratu.
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat (Jabar) masih terus memantau siaga darurat erupsi Tangkuban Parahu. Menurut Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Jabar Budi Budiman Wahyu, pihaknya terus menerima laporan dari petugas piket siaga darurat erupsi Gunung Tangkuban Perahu.
Budi mengatakan, berdasarkan kondisi terkini Gunung Tangkuban Parahu pada Ahad, Pos Pemantau Gunung Tangkuban Parahu mencatat amplitudo 1,5-2 mm. "Amplitudo relatif masih sama kayak kemarin dan untuk tremor masih bergetar terus-menerus," ujar Budi, kemarin.
Untuk jarak aman, kata dia, masih 500 meter dari titik erupsi dan bibir kawah gunung. Sejauh ini di lokasi sedang dilakukan pembersihan debu sisa erupsi oleh pihak pengelola
Menurut dia, BPBD Provinsi Jawa Barat, BPBD Kabupaten Bandung Barat, dan BPBD Kabupaten Subang tetap melaksanakan piket siaga darurat erupsi Gunung Tangkuban Parahu dan akan terus berkoordinasi dengan Pos Pemantau Gunung Tangkuban Perahu dan PVMBG, Badan Geologi, hingga waktu yang akan ditentukan lebih lanjut oleh komandan lapangan berdasarkan hasil evaluasi lapangan setiap harinya.
Menurut seorang warga Lembang, Dewi Yatni (38 tahun), yang rumahnya berjarak hanya sekitar 4 kilometer dari Kawah Gunung Tangkuban Parahu, ia tak merasakan ada getaran apa pun. "Alhamdulillah, aman. Enggak kerasa ada getaran. Debu juga enggak ada," katanya.
Pengelola objek Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Parahu mengungkapkan akan membuka kembali destinasi tersebut untuk kunjungan wisatawan pada Senin (29/7). Hal itu dilakukan meski pembersihan sisa material abu vulkanis dari erupsi yang terjadi Jumat (26/7) sore masih terus dilakukan.
"Koordinasi dengan pihak vulkanologi, berdasarkan seismogram terlihat normal dan sejak kemarin normal," ujar Direktur Utama PT Graha Rani Putra Persada (GRPP) selaku pengelola TWA Tangkuban Parahu, Putra Kaban, Ahad.
Menurut dia, aktivitas vulkanis sejak erupsi terus berangsur menurun. Putra Kaban mengatakan, salah satu alasan pembukaan objek wisata dilakukan agar pedagang bisa berjualan kembali. "Sebanyak 1.200 orang cari makan di sini. Suka atau tidak suka, mereka harus diutamakan. Apakah betul sudah //clear// dan //clean//, semua tergantung besok," katanya.
https://ift.tt/2MofUnQ
July 29, 2019 at 08:18AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2MofUnQ
via IFTTT
No comments:
Post a Comment