REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah jurnalis mengaku mendapatkan intimidasi dan kekerasan dari aparat saat meliput demonstrasi. Jurnalis sempat merekam tindakan represif aparat terhadap demonstran.
Pada Rabu (25/9) malam, sejumlah jurnalis sempat merekam kegiatan penangkapan seorang pendemo saat bentrok dengan aparat di Jalan Gatot Subroto, tepatnya di sekitar Resto Pulau Dua, sisi tenggara pagar utama Kompleks Parlemen Senayan. Para jurnalis juga merekam tindakan represif aparat yang memukuli dan menendang secara ramai-ramai pria yang ditangkap.
Namun, sejumlah jurnalis, termasuk jurnalis Republika, dipaksa menghapus hasil dokumentasinya. Ketika dijelaskan soal UU Pers, aparat tak mau mendengar. “Kami juga lelah,” ujar personel kepolisian tersebut.
Di tempat yang sama, reporter Narasi TV, Vany Fitria, juga mengalami kekerasan fisik oleh aparat Brimob. Tidak hanya diintimidasi, telepon selulernya pun dirampas. Peristiwa terjadi saat Vany mengetahui aparat kepolisian yang berkumpul di depan Resto Pulau Dua sedang berusaha menghalau massa aksi yang berada di sekitar flyover Bendungan Hilir.
Seorang anggota Brimob mendekati Vany dan memintanya untuk tidak mengambil gambar. Beberapa detik kemudian, dari arah belakang, seorang anggota Brimob yang lain memukul badan Vany dengan tameng hingga ia nyaris terjengkang. Saat dia berusaha berdiri dengan stabil kembali, anggota Brimob yang memukul dengan tameng itu mengambil telepon seluler Vany, kemudian membantingnya ke trotoar.
Anggota Brimob yang sama kemudian mengambil telepon seluler tersebut dan hendak membantingnya kembali. Namun, anggota Brimob yang lain datang mengambil telepon seluler tersebut dan memasukkannya ke dalam sakunya sendiri.
Vany sudah mengatakan bahwa dirinya adalah wartawan. Kartu pers pun ia tunjukkan. Namun, mereka bukan hanya tidak peduli melainkan juga melontarkan kalimat-kalimat yang intimidatif. Vany sudah menawarkan diri untuk menghapus footage asalkan telepon seluler miliknya dikembalikan. Namun, permintaan itu diabaikan.
Sehari sebelumnya, pada malam 24 September sekitar pukul 22.00, wartawan Narasi TV yang lain, Harfin Naqsyabandi, juga dipaksa aparat kepolisian, tepatnya dari Krimum Polda Metro Jaya, untuk memformat ulang telepon selulernya karena merekam adegan kepolisian mengeroyok seorang pelaku aksi. Harfin menolak permintaan memformat ulang dan akhirnya hanya menghapus dua video adegan pengeroyokannya.
Pemimpin Redaksi Narasi, Zen RS, menuntut Kapolri Tito Karnavian mematuhi nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri bernomor 2/DP/MoU/II/2017 pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Meminta Kapolri memerintahkan anak buahnya di lapangan tidak menghalangi kerja jurnalis yang dilindungi UU Pers,” ujar Zen dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/9).
Berdasarkan data AJI Jakarta, reporter Kompas, Nibras Nada Nailufar, mengalami intimidasi saat merekam polisi melakukan kekerasan terhadap seseorang di Jakarta Convention Center, Selasa (24/9) malam. Polisi juga sempat meminta Nibras untuk menghapus rekaman video kekerasan tersebut.
Polisi juga melakukan kekerasan terhadap jurnalis IDN Times, Vanny El Rahman. Ia dipukul dan diminta menghapus video rekamannya tentang kekerasan yang dilakukan polisi terhadap demonstran di sekitar flyover Slipi, Jakarta.
Selain itu, polisi menganiaya jurnalis Katadata, Tri Kurnia Yunianto. Tri dikeroyok, dipukul, dan ditendang oleh aparat dari kesatuan Brimob Polri. Meski dia telah menunjukkan identitas pers yang menggantung di leher dan menjelaskan sedang melakukan liputan, pelaku kekerasan tidak menghiraukan dan tetap menganiayanya.
Polisi juga merampas HP-nya dan menghapus video yang terakhir kali direkamnya. Video itu berisi rekaman polisi membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata.
Kekerasan juga dilakukan massa aksi terhadap reporter Metro TV, Febrian Ahmad. Massa memukuli kaca mobil Metro TV menggunakan bambu dan melempari badan mobil dengan batu. Akibat kekerasan ini, kaca mobil Metro TV bagian depan dan belakang serta kaca jendela pecah semua.
Kekerasan yang dilakukan polisi dan massa merupakan tindakan pidana sebagaimana dalam UU Nomor 40 tentang Pers. Pasal 18 Ayat 1 UU Pers menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta.
Menyikapi kekerasan terhadap jurnalis tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan massa aksi. “Terlebih kekerasan yang dilakukan anggota Polri tersebut terekam jelas dalam video-video yang dimiliki jurnalis,” kata Sasmito Madrim, juru bicara Komite Keselamatan Jurnalis.
Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Pol Listy Sigit Prabowo berjanji akan menindaklanjuti tindakan kekerasan yang dilakukan aparat tersebut. Dia menyatakan akan menghubungi pejabat kepolisian di tempat kekerasan pada para jurnalis terjadi.
“Nanti saya sampaikan ke Pak Kapolda dan kapolres untuk mengatur supaya di lapangan jangan sampai terjadi lagi benturan, khususnya kawan-kawan wartawan dengan anggota. Jadi, pengaturannya supaya jelas di lapangan itu seperti apa. Nanti saya hubungi kapolda,” ujar Sigit. n arif satrio nugroho/fauziah mursid/dessy suciati saputri, ed: mas alamil huda
https://ift.tt/2n1ePYs
September 27, 2019 at 08:01AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2n1ePYs
via IFTTT
No comments:
Post a Comment