REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK— Destinasi wisata 'Negeri di atas Awan' yang berada di Gunung Luhur, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten tengah menjadi promadona hingga menarik banyak wisatawan. Sekitar 15 ribu pengunjung diperkirakan mendatangi tempat wisata yang berada di Selatan Banten tersebut pada Ahad (22/9) lalu, padahal kapasitas lahan disebut pengelola hanya cukup untuk sekitar 1.500 orang.
Alhasil, kepadatan di Gunung Luhur pada Ahad itu tidak terhindarkan. Kemacetan akibat padatnya kendaraan roda empat dan dua terjadi hingga 7 kilometer panjangnya.
Plt Kepala Dinas Pariwisata Lebak, Imam Rismahayadin, menuturkan percepatan fasilitas pendukung destinasi negeri di atas awan harus dipercepat untuk memberikan kenyamanan pada wisatawan.
Kemacetan yang baru bisa terurai setelah enam jam upaya penertiban lalu lintas di sana menjadi tanda bahwa sumber daya manusia (SDM) di sana, masih belum mampu menampung wisatawan dalam jumlah besar.
"Memang yang masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) kita itu adalah SDM-nya, jadi SDM nya belum mampu mengatasi kecepatan kunjungan wisatawan yang besar," terang Imam Rismahayadin, Senin (23/9).
Dalam hal penanganan kualitas pengelola destinasi wisata di sana, Imam menyebut pihaknya telah membentuk kelembagaan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Dirinya juga mengatakan bahwa Pemkab Lebak telah melakukan Nota kesepemahaman dengan Pihak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TN-GHS) yang berwenang atas lahan tersebut untuk pengelolaan objek wisata ini.
Imam berharap agar kedepannya bisa dibangun fasilitas penunjang seperti lahan parkir untuk wisatawan. Berkaca seperti halnya destinasi wisata Gunung Bromo yang ada di Malang, dirinya menyarankan agar ada kantung parkir di kaki Gunung Luhur supaya tidak terjadi penumpukan kendaraan di lokasi tersebut seperti yang terjadi sebelumnya.
"Kemacetan sampai panjang seperti itu seharusnya pengelola jangan sampai kedodoroan, jangan sampai wisatawan itu pulang kecewa. Sebaiknya ada lahan parkir kendaraan di bawah. dan disediakan moda transportasi khusus untuk naik ke puncak, seperti kalu kita kihat Bromo kan seperti itu," terangnya.
Dia mengatakan, lahan destinasi wisata yang intinya melihat hamparan lautan awan ini dikatakannya memang terbatas sehingga belum mampu menampung jumlah pengunjung dalam skala besar. Karena banyaknya jumlah pengunjung pada akhir pekan, dirinya menyarankan agar bisa mengunjungi objek wisata tersebut di hari lain atau bahkan menikmati objek wisata lain yang ada di sekitar Gunung luhur.
"Sebenarnya banyak potensi wisata di Lebak, kalau tidak bisa ke Negeri di Atas Awan, bisa juga ke air terjun yang ada di sana atau ke pemancingan ikan yang ada di kerambah-kerambah warga atau bahkan ke Kasepuhan Citorek," terang Imam.
Sementara Pengelola objek wisata negeri di atas awan, Sukmadi Jaya Rukmana mengatakan bahwa pada Ahad (22/9) lalu sebenarnya pihaknya sudah mengimbau pengunjung agar melakukan parkir kendaraan dan menginap di pemukiman warga di kaki Gunung luhur.
"Sudah kita antisipasi sebenarnya, pengunjung sudah mulai berdatangan sejak Jumat dan Ahad itu puncaknya. Kita arahkan itu supaya menginap di pemukiman warga, parkir di sana, warga juga sudah biasa sebenarnya dan mereka welcome. Tapi lebih banyak pengunjung yang 'kekeuh' memaksa naik. Mau gimana lagi kan nggak bisa kita larang karena itu jalan umum bukan jalan pariwisata," terang Sukmadi.
Tentang viralnya video seorang wisatawan yang berkunjung pada Ahad lalu yang kecewa karena tidak melihat hamparan awan dan mengeluh akses jalan yang berdebu, Sukmadi mengatakan bahwa untuk melihat hamparan awan memang hanya bisa dilakukan di pagi hari, adapun akses jalan saat ini memang tengah dalam pembangunan oleh Pemprov Banten.
Waktu yang tepat untuk melihat hamparan awan di objek wisata tersebut menurutnya adalah sejak pukul 05.30 WIB hingga 08.00 WIB, selebihnya pengunjung tidak akan mendapatkan momen pemandangan tersebut. Karena momennya berada di pagi hari, dirinya menyarankan agar menginap di tempat-tempat yang disediakan, seperti saung atau gubuk penginapan, tenda dan pemukiman warga.
"Ada saung yang disewakan dengan tarif sekitar Rp 200 ribu, tenda langsung pakai yang tarifnya mulai Rp 50 ribu atau karena dua tempat itu lahannya terbatas, bisa juga ke pemukiman warga," terangnya.
https://ift.tt/2mCm8Fz
September 24, 2019 at 07:19AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2mCm8Fz
via IFTTT
No comments:
Post a Comment