REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dukungan terhadap Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang (Perppu) KPK kian menguat. Teranyar, hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukan mayoritas masyarakat berada di belakang Jokowi jika menerbitkan Perppu untuk menangguhkan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Ditektur Eksekutif LSI Djayadi Hanan memaparkan, sebanyak 76,3 persen masyarakat yang tahu isu itu setuju agar presiden mengeluarkan Perppu KPK. Sebanyak 70,9 persen responden menilai, revisi UU KPK telah melemahkan upaya penanggulangan korupsi oleh lembaga antirasuah.
"Dengan kata lain, ada aspirasi publik yang kuat bahwa karena UU KPK hasil revisi itu melemahkan KPK, maka akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi," kata Djayadi di Jakarta, Ahad (6/10).
Survei ini dipantik oleh demonstrasi mahasiswa yang terjadi belakangan. Survei dilakukan pada 4-5 Oktober 2019 melalui wawancara telepon terhadap 17.425 responden terpilih dari total 23.760 responden yang datanya dimiliki LSI.
Hasil survei menunjukkan 59,7 persen masyarakat tahu tentang demonstrasi mahasiswa. Sebanyak 86,6 persen di antaranya mengetahui demonstrasi dilakukan salah satunya untuk menentang revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang baru disahkan DPR bersama pemerintah. Sebanyak 60,7 persen responden mengaku mendukung aksi tersebut.
Toleransi kesalahan dalam survei diperkirakan 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. "Pengalaman Pilpres 2019 menunjukkan kalau metode ini bisa diandalkan untuk memperkirakan sikap politik pemilih," kata Djayadi. Ia juga menegaskan, survei dibiayai sendiri LSI.
Dukungan juga datang dari partai oposisi. Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyebut, Jokowi perlu menerbitkan Perppu KPK. "Saya mendukung Presiden mengeluarkan Perppu karena banyak pasal yang melemahkan KPK dalam revisi UU KPK kemarin," kata Mardani, kemarin.
Dia mengungkapkan, sejumlah pasal hasil revisi melemahkan kinerja KPK. Tiga poin yang dia soroti adalah pembentukan dewan pengawas oleh presiden, penyadapan yang memerlukan izin dewan pengawas, dan pegawai KPK yang harus jadi Aparatur Sipil Negara (ASN). "Kembalikan (KPK) pada publik. Seperti BI (Bank Indonesia) yang mandiri," kata anggota DPR yang baru dilantik ini.
Menurut Mardani, Jokowi memiliki kedudukan yang kuat sebagai kepala negara. Soal koalisi partai pendukung Jokowi yang menolak penerbitan Perppu KPK, Mardani menilai, partai politik harusnya tidak dalam posisi menekan kepala negara. "Presiden tidak boleh lemah dan takut pada tekanan. Sumpahnya hanya taat pada konstitusi dan rakyat Indonesia," kata dia.
Opsi menerbitkan perppu KPK kembali menguat setelah Jokowi bertemu sejumlah tokoh pada Kamis (26/9). Tuntutan yang dilakukan mahasiswa, pelajar, dan pegiat antikorupsi menjadi pertimbangan mengapa perppu itu menjadi relevan. Namun, Jokowi belum juga mengumumkan penerbitan perppu KPK.
Kamis, pekan lalu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno meminta seluruh pihak menghindari spekulasi terkait penerbitan perppu dan menunggu pengumuman resmi dari Presiden. "Tunggu, tunggu, tunggu. Kalau Presiden sudah menyatakan sesuatu, nah, itu. Sekarang kan belum," ujar Pratikno.
Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan, hingga Jumat (4/10), Presiden Jokowi belum memutuskan menerbitkan Perppu atau tidak. Menurut dia, situasi yang dihadapi pemerintah terkait revisi UU KPK seperti dihadapkan pada 'buah simalakama'. "Nggak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, kan begitu," kata Moeldoko.
https://ift.tt/2oiAyMg
October 07, 2019 at 07:59AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2oiAyMg
via IFTTT
No comments:
Post a Comment