REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, mengatakan munculnya perusahaan baru berbasis teknologi menggerus pendapatan perusahaan-perusahaan konvensional. Ia memberikan contoh, Telkom yang pendapatannya menurun sejak maraknya penggunaan super apps, Whatsapp.
Menurut Rhenald, PT Telkom Indonesia (Persero) sudah tidak bisa mengandalkan sumber pendapatan utamanya dari voice atau suara. Sebab, masyarakat sudah beralih menggunakan Whatsapp yang menawarkan percakapan suara dan panggilan video secara gratis.
"Dulu sumber pendapatan Telkom yang paling besar adalah voice, namun sekarang sudah diambil cacing–cacing pita namanya Whatsapp," ujarnya dalam acara bedah buku #MO (Mobilisasi dan Orkestrasi) yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan dalam rangka festival literasi di Gedung Dhanapala, Jakarta, awal bulan ini.
Sama halnya dengan surat kabar yang kini pun sumber pendapatannya tidak bisa hanya mengandalkan penjualan dari koran. Masyarakat sudah semakin jarang yang membeli koran untuk mengetahui kabar terbaru seiring dengan semakin mudah dan murahnya akss internet untuk mendapatkan informasi yang lebih cepat dan mudah.
"Segala sesuatu yang menjadi pendapatan utama hilang secara tiba–tiba karena peralihan teknologi," kata dia.
Televisi pun, menurut Rhenald, mengalami hal yang sama. Kini, siaran TV tergantikan oleh platform Youtube. Oleh karena itu, pendapatan utama stasiun TV dari iklan pun turun.
"Televisi pun mengalami hal serupa, mereka mempertahan biaya produksi yang sangat besar Rp 200 juta hingga dua miliar rupiah per jam, sedangkan youtuber hanya mengunggah video berdurasi 15 menit seminggu sekali dan hanya bermodalkan alat– alat seadanya, namun penghasilannya luar biasa. Misalnya, Atta Halilintar, dia sebulan menghasilkan Rp 20 miliar per bulan," ujar Rhenald.
Untuk menghadapi serangan digitaliasi, Rhenald mengatakan, pelaku usaha perlu melakukan strategi mobilisasi dan orkestrasi. Strategi mobilisasi ia namai SHARE, yakni story, hype, actionable, relevant, emotional.
Mobiliasasi bisa digerakkan secara daring dengan adanya sesuatu yang bisa diangkat menjadi sebuah narasi yang kuat (story). Rhenald mencontohkan masyarakat Eropa yang menggunakan cerita tentang nasib orangutan untuk mengadang laju ekspor minyak sawit dari Indonesia.
“Sebelumnya sebenarnya Eropa telah melakukan berbagai cara untuk menghadang ekspor minyak sawit namun tidak berhasil, tapi dengan membangun story bahwa masyarakat Indonesia tidak peduli dengan orangutan karena deforestasi, ini berhasil memengaruhi masyarakat internasional agar tidak mengkonsumsi bahan–bahan dari sawit," ujarnya.
Selanjutnya, hype. Pelaku usaha tidak boleh melawan gelombang, namun harus menunggangi gelombang.
"Saat Garuda melarang penumpang untuk berfoto di dalam pesawat, pada kesempatan yang sama Grab memanfaatkan hal itu dengan memperbolehkan penumpang untuk berfoto dengan driver-nya," ungkap Rhenald.
"Actionable. Artinya, bisa dilakukan dengan mudah melalui pelibatan publik. Bentuknya bisa bermacam–macam. Bisa menggunakan narasi humanis, persuasif, dan sebagainya," jelasnya.
Terakhir adalah relevant dan emotional. Rhenald mengatakan, narasi yang diciptakan harus relevan, namun juga syarat emosi. Seperti halnya Eropa yang memanfaat cerita orangutan itu.
Strategi mobilisasi dan orkestrasi yang lebih mendalam Rhenald jelaskan di dalam buku berjudul #MO yang belum lama ini dirilis. Dalam buku tersebut, ia menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi bisa mengubah banyak hal, terutama menggeser pendapatan perusahaan yang menerapkan sistem konvensional.
https://ift.tt/2Vhwk3A
October 07, 2019 at 08:12AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Vhwk3A
via IFTTT
No comments:
Post a Comment