REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Muhyiddin, Rossi Handayani
JAKARTA – Organisasi massa (ormas) Islam mengkritisi Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim (MT) yang akan mulai berlaku pada 10 Januari. Kritik tersebut antara lain muncul dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Islam (Persis).
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Manan Ghani mengatakan, Kemenag seharusnya tidak merepotkan majelis taklim dalam kegiatan dakwahnya. Menurut dia, Kemenaglah yang seharusnya mendata majelis taklim.
"Mereka data jumlah majelis taklim, bukan majelis taklim yang disuruh mendaftar. Enak nanti. Kementerian Agama punya penyuluh agama di tingkat kecamatan, punya KUA. Masa, setiap kecamatan tidak bisa mendata majelis taklim?" ujar Kiai Manan, Sabtu (30/11).
Kritik yang disampaikan Kiai Manan menyangkut pasal 6 ayat 1 dalam PMA yang mengatur bahwa majelis taklim harus terdaftar pada kantor Kementerian Agama walaupun bersifat tidak wajib.
"Jangan sampai merepotkan majelis taklim, merepotkan ustaznya, merepotkan jamaahnya. Mereka saja yang data. Buat apa punya aparat itu?" ujarnya lagi.
Kiai Manan mengaku belum membaca draf PMA tentang Majelis Taklim tersebut secara menyeluruh. Sebab, ia baru saja datang berdakwah dari daerah-daerah pelosok yang susah sinyal.
Namun, menurut dia, majelis taklim selama ini sudah bisa hidup meski tanpa bantuan dari pemerintah karena mereka berdakwah atas motivasi menyiarkan agama Islam.
"Kita itu hidup sendiri dan dakwah sendiri atas motivasi menyiarkan agama, justru kita malah direpotkan dengan harus mendaftar dan sebagainya," katanya.
Kiai Manan menilai Kementerian agama punya aparat yang bisa mendata. ‘’Silakan majelis taklim didata. Jika mau memberi bantuan, silakan bantu dengan data mereka sendiri,’’ ujar Kiai Manan.
Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) Ustaz Jeje Zainudin mengatakan, dengan adanya peraturan seperti itu, ia justru khawatir beban tugas administrasi Kemenag semakin banyak yang tak terselesaikan.
"Dengan adanya keharusan mendaftarkan majelis taklim kepada Kementerian Agama melalui KUA, dikhawatirkan makin menambah beban tugas pelayananan administratif Kemenag, makin banyak yang tidak terlaksanakan dengan baik dan benar," ujar Ustaz Jeje, Sabtu (30/11).
"Bagaimana repotnya majelis taklim yang jumlahnya mungkin bisa mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan, harus terdaftar lengkap dengan pengurus dan para anggotanya."
PMA tentang Majelis Taklim disebut bertujuan untuk menguatkan peran strategis majelis taklim dalam memberikan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam serta memperkuat ketahanan dan keutuhan NKRI. Namun, Ustaz Jeje menilai PMA tersebut cenderung politis.
"Dalam materinya, kami menilai PMA justru lebih bersifat politis untuk bisa jadi payung hukum dan justifikasi pemerintah mengawasi forum pengajian-pengajian," ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, Persis khawatir PMA tersebut suatu saat bisa saja diselewengkan sesuai dengan kepentingan penguasa. Jika itu benar-benar terjadi, kata dia, bukan hal yang mustahil kita mengalami kemunduran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dia menambahkan, jika keharusan mendaftar itu sebagai salah satu cara mendapatkan dana bantuan pembinaan, juga sangat rentan terjadi pertentangan dan gesekan “antar” dan “intra” pengurus majelis taklim yang satu dengan yang lain. Majelis taklim yang semula bersifat ikatan sukarelawan kekeluargaan akan menjadi lebih formal dan birokratis.
"Tentu saja ini tidak sejalan dengan semangat reformasi yang menghendaki berkurangnya birokratisasi dan ikut campur pemerintah terhadap hak-hak berkumpul dan berserikat masyarakat," kata Ustaz Jeje.
PMA tersebut juga berpotensi meningkatkan kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah sedang melakukan pengawasan ketat kepada kelompok masyarakat yang distigma tidak loyal terhadap peguasa.
"Dan hal ini hanya akan menambah sikap antipati sebagian kelompok masyarakat," ujar Ustaz Jeje.
https://ift.tt/2Du0oRE
December 01, 2019 at 08:24AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2Du0oRE
via IFTTT
No comments:
Post a Comment