REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menjelaskan alasan mengapa memotong masa tahanan terpidana kasus suap proyek PLTU-Riau 1, Idrus Marham. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menerangkan, pemotongan tahanan mantan menteri sosial (mensos) itu karena penggunaan dakwaan yang tidak tepat. Dakwaan itu menjadi acuan putusan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dan tingkat banding di pengadilan tinggi (PT).
Majelis kasasi di MA, kata Andi, meyakini hukuman terhadap Idrus Marham semestinya hanya mengacu pada Pasal 11 UU Tipikor 2001. “Yaitu menggunakan pengaruh kekuasaannya,” kata Andi melalui pesannya kepada Republika, Kamis (5/12).
Ia menerangkan, kekuasaan Idrus yang dimaksud adalah perannya sebagai plt ketua umum Partai Golkar 2017. Peran Idrus Marham sebagai pemimpin sementara Partai Golkar memengaruhi proses terjadinya rencana suap dan gratifikasi terkait pelaksanaan proyek PLN pembangunan PLTU Riau-1 saat itu.
Merunut fakta persidangan terdakwa lain dalam kasus yang sama, Andi mengatakan, Idrus menjadi plt ketum Golkar menggantikan Setya Novanto yang saat itu lengser karena terjerat hukum megakorupsi KTP elektronik. Pergantian kepemimpinan di partai berlambang pohon beringin itu membuat Eni Maulani Saragih mengalihkan laporannya kepada Idrus.
Eni merupakan anggota Komisi VI DPR Fraksi Golar yang menerima suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo karena membantu mendapatkan proyek PLTU Riau-1. “Karena pada mulanya saksi Eni Maulani Saragih melaporkan perkembangan proyek PLTU Riau-1 tidak lagi kepada saksi Setya Novanto, tetapi melaporkannya kepada terdakwa (Idrus Marham),” kata Andi.
Andi mengatakan, Eni melapor kepada Idrus agar tetap mempertahankan perannya di hadapan Johannes Kotjo. “Saksi Eni Maulani Saragih menyampaikan kepada terdakwa (Idrus) kalau dirinya akan mendapatkan fee dalam mengawal proyek PLTU Riau-1,” kata Andi.
Penjelasan tersebut membuat MA mengabulkan permohonan kasasi Idrus dengan menganulir putusan dari pengadilan tingkat pertama maupun kedua dan menyatakan upaya hukum berakhir inkrah.
“Dalam putusan kasasi, MA membatalkan putusan pengadilan tipikor dan pengadilan tinggi tipikor, kemudian menjatuhkan vonis dua tahun kepada terdakwa (Idrus),” kata Andi. MA, kata Andi, juga hanya menghukum Idrus dengan denda Rp 50 juta atau kurungan selama tiga bulan.
Putusan MA terhadap Idrus tersebut dilakukan pada 2 Desember 2019 oleh ketua majelis hakim Suhadi, anggota hakim Abdul Latif, dan anggota hakim Krishna Harahap. Putusan MA tersebut lebih rendah dibandingkan putusan tingkat pertama di PN tipikor.
Pada April 2019, PN tipikor memvonis Idrus dengan pidana selama tiga tahun karena terbukti menerima suap sebesar Rp 2,2 miliar terkait proyek PLTU Riau-1. Sementara itu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut lima tahun penjara. Jaksa KPK membanding putusan tersebut ke PT tipikor.
Hasilnya adalah mengabulkan tuntutan KPK dengan memenjarakan Idrus Marham selama lima tahun. Namun, Idrus Marham melawan ke MA dengan mengajukan kasasi yang akhirnya hanya memenjarakannya selama dua tahun.
KPK mengaku kecewa dengan putusan MA tersebut. Namun, KPK masih punya cara untuk melawan, yaitu dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa.
“Kami sangat kecewa dengan putusan pengurangan hukuman seperti itu,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (3/12). Menurut dia, putusan MA membuktikan tidak adanya kesamaan visi antara sesama penegak hukum dalam memberikan efek jera kepada pelaku korupsi. n bambang noroyono, ed: ilham tirta
https://ift.tt/2s3vb53
December 06, 2019 at 07:50AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/2s3vb53
via IFTTT
No comments:
Post a Comment