REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Setidaknya delapan kantor stasiun televisi di Irak diserang kelompok bersenjata akhir pekan lalu. Irak diketahui tengah menghadapi krisis akibat gelombang demonstrasi yang telah berlangsung selama sepekan terakhir.
Mereka yang menjadi target serangan bukan hanya stasiun televisi lokal, tapi juga luar negeri. Stasiun televisi itu antara lain Al-Arabiya, Dajla, NRT, Arabiya Hadath, Fallouja, Al-Ghad al-Araby, Al-Sharqiya, dan Sky News.
Seluruh stasiun televisi itu diketahui menyiarkan rekaman demonstrasi yang kontras atau berbeda dengan yang dipublikasikan televisi pemerintah. Stasiun Al-Arabiya melaporkan bahwa kantor mereka diserang oleh sekelompok orang bersenjata yang mengenakan topeng dan pakaian serba hitam.
Selain merusak peralatan produksi, kelompok bersenjata itu pun menganiaya dan memukuli beberapa karyawan. Stasiun televisi lainnya mengalami hal serupa. Seorang analis Irak Hiwa Osman yang mengaku memperoleh keterangan dari saksi-saksi di lokasi kejadian mengungkapkan bahwa anggota kelompok bersenjata itu menggeledah setiap kantor stasiun televisi.
"Mereka mengambil semua komputer dan brankas. Mereka merusak semua dinding video dan peralatan bawaan. Mereka membakar studio tempat kami menyajikan program-program kami dan kemudian pergi. Mereka melakukan hal yang sama dengan saluran (televisi) lainnya," ujar Osman, dikutip laman Al Araby, Ahad (6/10).
Para karyawan di stasiun-stasiun televisi terkait mengalami intimidasi dengan kekerasan. "Mereka (kelompok bersenjata) memukuli staf, mengambil dompet, dan telepon mereka," kata Osman.
Belum ada kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Namun, para pendukung kebebasan pers telah menyalahkan Pemerintah Irak karena dianggap gagal mencegah aksi brutal itu. Sementara para kritikus menduga serangan terhadap stasiun televisi itu merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk menekan liputan lokal terkait demonstrasi.
Aksi demonstrasi di Irak telah berlangsung sejak 1 Oktober lalu. Masyarakat turun ke jalan untuk memprotes permasalahan yang mereka hadapi, seperti meningkatnya pengangguran, akses terhadap layanan dasar, termasuk air dan listrik, yang terbatas serta praktik korupsi di tubuh pemerintahan yang merajalela.
Mereka pum mendesak Perdana Menteri Iram Adel Abdul Mahdi mundur dari jabatannya. Dia dianggap telah gagal melaksanakan tugasnya untuk membangun kembali Irak pasca-peperangan melawan kelompok ISIS.
Selama sepekan demonstrasi, sedikitnya 104 orang telah dilaporkan tewas dan lebih dari 6.000 lainnya mengalami luka-luka. Bentrokan antara aparat keamanan dan para demonstran adalah penyebab utama dari banyaknya korban jiwa serta luka.
https://ift.tt/31YqiYs
October 07, 2019 at 07:43AM from Republika Online RSS Feed https://ift.tt/31YqiYs
via IFTTT
No comments:
Post a Comment